Saturday, December 31, 2011

Racunfilm: So far.. This is The Best 20 Movies of 2011 (Part 2)

10. The Ides of March | George Clooney
 
The Ides of March juga cenderung mempertunjukan tata sinematografi yang elegan, memperlihatkan sisi glamour dari politik Amerika. The Ides of March memang tidak mutlak berbicara tentang kesuksesan seorang juru kampanye junior dalam mensukseskan calon presiden Amerika, tapi lebih ke polemik internal dalam kesuksesan itu sendiri. Yes, meski The Ides of March belum terlalu bisa naklukin hati gw lewat eksekusi cerita, tapi untuk ketiga kalinya Gosling kembali bisa naklukin hati gw dengan kini menjadi seorang politikus naif di The Ides of March.
9. 50/50 | Jonathan Levine
 Enggak tau kenapa film ini 'ngena' banget di gw, bener-bener spesial ngeliat Jonathan Levine menyampaikan perjuangan seseorang menghadapi kangker, tanpa perlu embel-embel mewek dan sebagainya 50/50 sudah bisa dengan baik menyentuh hati penontonnya. Dan Gordon-Levitt, anda layak menemani Gosling sebagai aktor terbaik tahun ini, setiap senyum yang di lontarkan Levitt menimbulkan emosi tersendiri buat penontonnya (terutama gw) #eh haha lebay ah.

8. Moneyball | Bennett Miller
 
Moneyball adalah kombinasi spesial antara drama drama dan olahraga, diarahkan oleh Bannett Miller dan dibintangi oleh Brad Pitt.Tidak perlu mengerti baseball untuk menikmati film ini, karena percayalah Miller akan menuntun kita sedikit demi sedikit ke puncak dengan rentetan skenario yang setiap detiknya mampu memainkan emosi penonton. Kadar antara drama dan olahraga yang seimbang, tidak heran film ini meraih 4 nominasi Golden Globe.

7. Sang Penari | Ifa Isfansyah
Tak lain dan tak bukan the best Indonesian movie this year, The Dancer atau lebih dikenal secara nasional dengan Sang Penari. Film yang sukses menggondol 4 Piala Citra ini memang layak masuk 20 film terbaik 2011, selain karena faktor dari negeri sendiri, faktor lain kenapa gw masukin Sang Penari dalam list 20 film terbaik 2011 adalah karena kualitasnya! Mencakup hampir semua aspek, dari mulai cerita, akting hingga setting. Semoga tahun depan semakin banyak film Indonesia seperti ini, namun dengan ide dan kreatifitas yang berbeda tentunya.

6. Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 | David Yates
Sebagai akhir dari franchise yang sudah berjalan selama 11 tahun tentu Yates harus berhasil mengemasnya dengan baik. Dan faktanya Yates berhasil melakukannya, sebuah ending klimaks yang memuaskan untuk semua penggemar franchise sihir ini. Yak, inilah kado spesial dari seorang Yates untuk jutaan penggemar Harry Potter, deretan visual effect yang tak henti-hentinya menghujam sepanjang film, terutama ketika Battle of Hogwarts berlangsung! Satu kata kawan.. EPIC!

5. Midnight in Paris | Woody Allen
Midnight in Paris adalah sebuah film hasil buah pikiran yang gila dari Woody Allen yang kemudian yang di tuangkan dalam skenario. Dari sekaian banyak film Allen baru Midnight in Paris ini lah yang mengambil setting di Paris. Dibintangi oleh Owen Wilson yang senantiasa menghidupkan suasana humor di film ini. Dan di balik itu semua tanpa di sadari Midnight in Paris meninggalkan sebuah pesan moral yakni hidup itu harus di nikmati.. Ya begitulah kira-kira apa yang Owen Wilson ingin sampaikan lewat bahasa tubuhnya.

4. Warrior | Gavin O'Connor
140 menit bertema drama olahraga ini berlangsung, dan selama 140 menit itu juga saya tidak pernah merasa bosan. Hidupnya suasana dan sinematografi yang elegan mungkin menjadi faktor utama. Tapi dari departmen akting Tom Hardy dan Joel Edgernton juga ikut berperan serta dalam menghidupkan suasana, dan sama seperti Moneyball, Warrior juga mampu mengkadarkan olahraga dan drama yang seimbang. Serta scoring yang juga senantiasa mengiringi kita ke drama kelas A dan dengan mudahnya memainkan emosi penonton.

3. Real Steel | Shawn Levy
Ya, Real Steel sudah cukup hebat dengan menyuguhkan kombinasi robotik dan drama, special effect yang tidak terlalu overdone serta skenario yang brilian menjadi faktor utama kenapa gw masukin Real Steel ini ke Top 20. Di sisi lain Real Steel tidak hanya menyuguhkan dialog antar manusia, tapi secara tidak langsung ikut berperan sentral dalam film ini. Juga sentuhan dramatis yang tidak di lebih-lebihkan justru akan membuat kesan natural dalam Real Steel akan semakin melekat. Layak deh gw nempatin film ini di posisi nomer 3.

2. The Help | Tate Taylor
The Help memang bukanlah film tidak terlalu mempersoalkan rasisme, tidak terlalu mengungkit-ungkit susahnya kulit hitam hidup di zaman Ku Klux Klan sedang berjaya. Tapi The Help bisa konsisten pada masalahnya tanpa harus melibatkan sub-plot yang terlalu rumit. The Help memang dirancang pure drama, yang sebenarnya sekali lagi tidak menjadikan rasisme sebagai landasan utama masalah. The Help tetap mampu mempermainkan penonton meski tanpa adegan pembantaian, pembunuhan, penyiksaan kulit hitam. Justru Tate mampu mempermainkan bahkan menyentuh emosi penonton dengan beberapa scene menjelang penutup.

1. Drive | Nicolas Winding Refn
Yak! Ini dia juara satu kita.. Tak lain dan tak bukan adalah Drive. Singkatnya kalau ber-ekspektasi Drive akan banyak adegan kebut-kebutan seperti Fast & Furious Franchise siap-siap kecewa. Drive adalah sebuah drama dengan rentetan violence dan percintaan yang indah di ekskulifkan untuk kalian yang memang benar-benar tau bagaimana indahnya sebuah film. Hampir dari semua aspek Drive tidak memiliki celah, sinematografi, scoring, editing, semua berjalan dengan mulus semulus akting Ryan Gosling disini, dari 3 film Gosling tahun ini aktingnya di Drive lah yang mampu naklukin hati gw hahah tapi belum bisa naklukin hati para juri Golden Globe ternyata.
Read More >>

Racunfilm: So far.. This is The Best 20 Movies of 2011 (Part 1)

20. Kung Fu Panda 2 | Jennifer Yuh

Ya, meski gak bisa dibilang animasi terbaik tahun ini, tapi gw akuin setidaknya Kung Fu Panda 2 mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai sequel. Masih mewariskan aroma komedi dari Po yang di suarakan Jack Black, ditambah balutan format 3D yang memanjakan mata. Well, meski untuk menjadi pemenang masih di pikir-pikir dua tapi Kung Fu Panda 2 layak menjadi kontender Oscar 2012.

19. X-Men: First Class | Matthew Vaughn
Akhir September lalu publik penggemar franchise bertema mutant termasuk saya, cukup di kejutkan dengan rilisnya X-Men: First Class, sebuah prequel dari 2 seri sebelumnya: X2 dan X-Men: The Last Stand. Sebelum film ini di rilis memang sudah banyak yang memberitakan bahwa prequel ini akan jauh lebih epic di banding sequelnya, dan itu semua terjawab ketika Matthew Vaughn yang sebelumnya kita kenal lewat Kick-Ass membuktikannya. Sebuah prequel yang mengesankan! 

 18. Source Code | Duncan Jones
  
Jelas masih terbayang bagaimana Duncan Jones memainkan cerita yang di tulis oleh Ben Ripley. Source Code bukanlah film action biasa yang memengtingkan adegan tembak sana tembak sini lompat sana lompat sini, Source Code adalah film action yang sangat mementingkan unsur akting dan cerita. Briliant namun sayang entah kenapa Source Code ini tergolong film yang mudah dilupakan padahal secara kualitas Source Code sangatlah luar biasa.

17. Mission: Impossible - Ghost Protocol | Brad Bird
 
Masih hangat tentunya di benak penonton dunia, karena memang rilisnya yang mendekati akhir tahun. Wajar kalau ada yang ber-ekspektasi lebih terhadap film ini, karena MI: Ghost Protocol lahir dari sebuah franchise yang sudah mendunia. Dan Tom Cruise kembali membuktikannya, meski sudah dalam usia yang tergolong uzur, Ia membuktikan bahwa Ia masih mampu, terlebih mampu memanjat gedung Burj Khalifa :p

16. Fast Five | Justin Lin
FYI, gw adalah penggemar berat franchise kebut-kebutan yang satu ini, mungkin karena efek gw yang juga menggilai game Racing juga. Sejak seri pertama di tahun 2011 gw udah tergila-gila sama nih franchise. Bagi kalian yang memang penggemar berat franchise ini dari seri pertama, pasti beda rasanya kalau nonton seri kelima ini, kenapa? Karena di seri kelima ini kita disuguhkan sebuah reuni kriminal yang tidak biasa. Di tambah porsi action yang lebih di banding racing-nya meski banyak yang bilang itu cukup menggangu tapi buat gw pribadi fast & furious series malah gak seru kalau balapan terus ahaha.

15. Rango | Gore Verbinski
Meski sebelumnya gw gak terlalu ber-ekspektasi terhadap animasi karya Paramount Picture ini, tapi ternyata Rango sukses menempatkan dirinya sebagai salah satu animasi terbaik tahun ini, terlebih jika mengingat dirinya yang masuk nominasi Golden Globe dalam kategori 'Bet Animated Feature'. Ber-setting ala western pastilah membuat Rango menjadi sebuah animasi yang tidak biasa. 

14. Crazy, Stupid, Love | Glenn Ficarra, John Requa
 Romantic-Comedy yang tidak biasa, itulah kata yang dapat menggambarkan CSL secara keseluruhan. Dengan dibalut komedi cerdas yang di perankan oleh cast-cast yang brilian. Terutama Gosling yang mampu memainkan peran seorang playboy dengan baik, wajar jika aktingnya disini di apresiasi HFPA dengan masuk nominasi Golden Globe 2012 sebagai 'Best Performance by an Actor in a Motion Picture - Comedy/Musical'.


13. The Tree of Life | Terrence Malick
 Terrence Malick memang punya cara tersendiri dalam menggambarkan pohon kehidupan, memperlihatkan kita betapa rumitnya hidup ini, dan Bradd Pitt adalah sosok yang tepat dalam penggambaran itu, mampu memainkan emosi penonton lewat karakternya lewat O'Brien. Gak bisa di pungkiri, The Tree of Life adalah salah satu film paling memorable di tahun 2011 ini, namun sayang untuk menikmati film berdurasi 139 menit ini dibutuhkan mood dan konsentrasi yang lebih.

12. The Skin I Live In | Pedro Almodóvar
 "GILA" adalah satu kata yang bisa menggambarkan The Skin I Live In, sama sekali gak terpikir bakal ada karya foreign language se brilian ini. Plus duet Antonio Banderas dan Alena Anaya yang sepanjang film akan terus menghidupkan suasana, bagaimana Almodóvar mengatur tensi emosi juga patut di apresiasi, well, The Skin I Live In memang layak menjadi nominator 'Best Foreign Language' di Oscar 2012 nanti.

11. The Adventure of Tintin | Steven Spielberg
Sebuah animated CGI yang luar biasa hasil buah karya dua maestro perfilman dunia, Steven Spielberg dan Peter Jackson. Balutan animasi yang tajam karya Peter Jackson serta skenario apik yang di susun oleh Steven Spielberg, hmm.. Sudah sebuah jaminan menonton film ini. Di tambah kita bisa menyaksikannya dalam format 3D, The Adventure of Tintin yang sebelumnya sudah terlihat nyata jadi semakin nyata.

Read More >>

Monday, December 26, 2011

Review: Sherlock Holmes: A Games of Shadow (2011)

  
Sherlock Holmes, sebuah karya berusia ratusan tahun yang terbentuk dari buah pikiran seorang penulis fiksi berkebangsaan Inggris, Arthur Conan Doyle. Sudah melewati berbagai macam penafsiran yang berbeda, dan pada puncaknya pada tahun 2009 Sherlock Holmes di filmkan oleh Warner Bros. Sekaligus mengangkat nama Robert Downey Jr. sebagai ikon Sherlock yang baru. Tidak banyak yang berubah di Sherlock Holmes: A Games of Shadow, masih di sutradarai oleh Guy Ritchie, serta di isi oleh cast yang tidak jauh berbeda juga, masih menempatkan Robert Downey Jr. dan Jude Law di deretan utama. Perbedaannya hanya terletak di screenplay, jika Sherlock Holmes di tahun 2009 ditulis oleh Michael Robert Johnson dan Anthony Peckham, kini di A Game of Shadow posisi itu menempatkan duo Mulroney (Michele Mulroney, Kieran Mulroney) sebagai dalangnya. Dan Guy Ritchie sebagai pemegang kendali utama jelas menjadi yang paling terbebani mengingat Sherlock Holmes (2009) yang sukses memvisualisasikan era baru Sherlock Holmes.

Masih ber-setting tahun 1891, Sherlock Holmes: A Game of Shadow dibuka dengan sebuah adegan ledakan hebat di menit-menit awal film. Berlanjut ke adegan penyamaran Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.) yang sedang mencari informasi tentang sebuah surat yang sedang di perebutkan. Guy Rithcie kembali mengantar kita ke kisah romansa antara Holmes dan wanita yang menjadi pujaan sekaligus saingan, Irene Adler ( Rachel McAdams). Namun lawan sesungguhnya Holmes kini adalah Prof. James Moriarty (Jared Harris), sosoknya yang mungkin sudah tidak asing bagi penggemar Sherlock Holmes. Musuh terberat Holmes yang memiliki kemampuan analisa yang tidak kalah hebat dari dirinya. Guy Ritchie juga coba mengenalkan kita pada persoaalan antara Holmes dan sahabatnya, Dr. John Watson (Jude Law) yang sudah menikah dan bersiap meninggalkan dunia per-detektifan. Namun disaat-saat penyelidikan yang harusnya digunakan oleh Watson untuk berbulan madu, mereka justru bertemu dengan wanita gypsi bernama Simza (Noomi Rapace). Dan pertmenuan itu justru membuahkan konflik yang diluar dugaan, Simza yang konon memiliki keterkaitan dengan Moriarty justru akan membawa Holmes dan Watson ke petualangan epik yang mendebarkan.


Dengan skrip yang kini ditulis oleh duo Mulroney ternayata tidak menjamin cerita A Game of Shadow akan lebih baik dari prequelnya, untuk ukuran cerita detektif A Game of Shadow justru tergolong membosankan. Di tambah tidak adanya sesuatu yang baru selain sang villain utama. Rithcie juga masih sering memvisualisasikan pikiran Holmes ketika sedang berusaha memecahkan masalah. Mungkin jika kita melihat ide ini 2 tahun silam, akan sangat-sangat unik melihatnya, tapi kini ide itu tampak tidak mengejutkan bahkan cenderung membuang-buang waktu. Dan Ritchie juga masih belum bisa memperbaiki ketidak chemistry-an Downey Jr. dan Jude Law. Seperti prequelnya yang di beberapa bagian mereka kurang memiliki kerja sama, di sequelnya kini mereka kembali melakukan blunder yang sama, bahkan sedikit lebih parah, ketika sepanjang 128 menit Rithcie asyik sendiri menonjolkan Holmes dan lupa mengkaraterisasi karakter lain dengan maksimal, terutama Watson yang seharusnya memiliki peran yang cukup vital. Yup, adanya sub-konflik antara Holmes dan Watson harusnya mampu di manfaatkan lebih oleh Ritchie dan membuat kedua karakter itu lebih hidup ketika tampil satu screen.

Bersyukur A Game of Shadow masih mewariskan sinematografi apik arahan sinamtografer peraih Oscar, Philippe Rousselot, terutama ketika Rousselot mulai menunjukan pergerakan lambat pada kamera yang berujung pada adegan slow motion, dan tidak perlu khawatir slow motion-nya akan membuat kita muak seperti Resident Evil: Afterlife, karena dengan sudah memapang nama Rousselot di clapper sebagai seorang Director of Photography itu sudah jadi nilai positif tersendiri. Serta nama Hans Zimmer yang mengisi musik di A Game of Shadow yang senantiasa memperbaiki segala kekacauan aspek di film ini. Sedikit kecewa memang A Game of Shadow justru tampil maksimal di belakang kamera, namun sebaliknya di depan kamera, script yang terlalu kaku dan chemistry Holmes-Watson yang tak kunjung membaik. Moriarty yang sebelumnya di gadang-gadang akan menjadi villain yang 'berhasil' nampaknya hanya menjadi jempol belaka. Ritchie kurang mampu memberi porsi yang seharusnya pada Jared Harris, padahal aktinya disini sebetulnya sudah bagus hanya porsinya saja yang belum setimpal dan sekali lagi saya rasa ini adalah salah satu akibat dari Ritchie yang terlalu asyik menggali karakter Holmes. Hampir semua karakter yang ada di A Game of Shadow, ya termasuk Watson yang seharusnya menjadi rekan berpikir setimpal bagi Holmes serta Moriarty yang seharusnya menjadi lawan seimbang bagi Holmes.


Ya, pada intinya gw akuin kalo A Game of Shadow gak sebaik prequelnya, banyak aspek-aspek di prequelnya yang sudah berlubang justru tambah di perbesar lubangnya. Kurangnya ruang untuk karakter sepertinya menjadi permasalah utama, seperti yang udah gw jabarin di atas tadi seandainya ruang untuk karakter bisa lebih di maksimalin Ritchie pasti A Game of Shadow bisa berakhir lebih baik dari prequelnya, Ya, dengan durasi 128 menit emabg seharusnya Rithcie bisa manfaatin itu dengan ruang yang cukup untuk semua karakter, apalagi karakter di A Game of Shadow ini tergolong banyak, ya.. untuk film bertema detektif gw rasa emang udah seharusnya walau secara gak langsung karakter harus di jelasin dengan maksimal. Well, meski begitu setidaknya A Game of Shadow bisa mengobati gw dan pecinta film ber-plot detektif walau tidak terlalu rumit untuk ukuran karya berusia ratusan tahun.





Read More >>

Sunday, December 25, 2011

Racunfilm: 10 Best Christmas Movies to Spend Your Holiday!!


Hari ini, 25 Desember seperti yang kita ketahui adalah hari kelahiran Jesus Christ, atau lebih sering disebut natal. Natal sendiri identik dengan, salju, liburan, Santa Clause, peri, hadiah, dll. Sebetulnya ada sejuta cara bagi kita mengapresiasikan cinta kasih natal, mungkin salah satunya dengan menonton beberapa film bertema natal bersama sanak saudara, tentu akan semakin mengasyikan jika tertawa bersama keluarga besar di hari penuh kasih sayang ini, okay, gw akan coba ngasih 10 rekomendasi film natal terbaik yang sangat-sangat pas di tonton bareng keluarga buat ngabisin liburan natal kalian.. Enjoy!


A Christmas Story (1983)

Salah satu film natal terbaik buat gw, nyuguhin setting natal di tahun 40an. Bener-bener punya cara tersendiri dalam nyampein cinta kasih natal. Setting jadulnya juga jadi salah satu keunikan tersendiri di film ini, apalagi kalo inget dialog dan ceritanya yang klise.. Dan yang paling memorable adalah seorang anak yang bermimpi memiliki shotgun haha. Banyak pesan moral yang disampaikan secara halus di film ini.
  
The Santa Clause (1994)
 

Udah banyak ya kayaknya, film yang nyeritain perjuangan Santa Clause membagikan hadiah, bahkan di  beberapa serial kartun episode spesial natal pun gw sering nonton, tapi yang semua kembali ke gaya penyampaiannya. Meski dengan cerita dan plot yang 75% sama tapi tetep aja nonton perjuangan Santa dengan gaya klasik itu beda, lebih dapet feel-nya, salah satu film natal terbaik buat gw, cocok banget di tonton bareng sanak saudara terutama yang masih di bawah umur pasti lebih dapet suasana ke-keluargaannya.

Jingle All the Way (1996)

One of the best Christmas movie ever!! Ini film biasanya sering banget di puter di tv saat natal, bahkan beberapa jam sebelum nulis artikel ini gw baru aja nonton nih film di tv lokal, walaupun dalam kalo di pikir-pikir dalam 1 tahun gw nonton ini cuma pas natal, bahkan hampir setiap natal tapi gak pernah bosen. Film yang bintangi Arnold Schwarzenegger emang munri berbicara soal hadiah natal, tapi meski begitu sekali lagi film ini gak pernah bikin bosen, terutama kalo ngeliat akting konyol Arnold yang di paksain. Hahahah

 Die Hard (1988)
 

Seri pertama dari franchise yang sampai saat ini sudah membuahkan 4 seri, kenapa cocok di tonton saat natal? Simple aja, karena memang film ini temanya pas lagi natal hehe, sejujurnya gw udah lama banget nonton nih film, terakhir gw nonton di tv lokal dan itu udah lewat itungan tahun, tapi sampe sekarang gw masih inget kok Die Hard adalah film yang memang mutlak action tapi diselipi drama keluarga. Masih ingat ketika sebuah bom meledak di malam natal, tegang tapi cocok dihabiskan bersama keluarga. 

Elf (2003)

Tidak seperti film-film diatas yang sudah melewati satu dekadenya kali ini di urutan ke-6, Elf rilisan tahun 2003, tentu banyak yang masih familiar ya. Petualangan seorang peri dalam mencari ayah kandungnya. Sangat-sangat di rekomendasikan di tonton bersama keluarga, karena sepanjang film kita akan disuguhkan komedi khas natal yang dimainkan oleh Will Ferrell.

Love Actually (2003)
 

Film yang satu ini tidak berbicara soal, perjuangan Santa memberikan hadiah, bencana disaat natal, ataupun petualangan seorang peri, film yang dibintangi oleh Bill Nighy ini lebih bercerita tentang kasih sayang, ya memang meski dengan tema Santa Clause, peri atau lainnya semua film natal memiliki inti yang sama, yakni kasih sayang. Dan Love Actually sudah berhasil menjalankannya menyuguhkan sebuah Drama Komedi yang mampu menghabiskan waktu natal kita bersama keluarga. A lot of emotion!

Christmas Vacation (1989)

Christmas Vacation adalah salah satu dari sekian banyak film natal bertema 'berantakan'. Kali ini adalah sebuah liburan natal yang berjalan tidak semestinya, tapi percaya deh, hampir semua film bertema seperti ini pasti punya akhir yang sama ahaha begitu juga dengan Chrismtas Vacation meski gak terlalu banyak berharap ending, tapi Christmas Vaction udah berhasil ngehidupin nuansa natal lewat caranya sendiri, terlebih akting Chevy Chase sebagai Clark disini, membuat Christmas Vacation menjadi salah satu film natal yang memorable dan familiar.

The Nightmare Before Christmas (1993)
 

Setelah sekian banyak film bertmea disaster disaat natal, buat gw The Nightmare Before Christmas lah yang terbaik, sebuah film karya Henry Selick yang ditulis oleh tak lain dan tak bukan seorang maestro gothic perfilman dunia, Tim Burton. Penggabungan konsep Halloween dan Christmas yang brilian, serta penggambaran Jack Skellington yang hingga kini menjadi legenda. Sebuah ide cemerlang menduetkan gothic dengan keceriaan natal. That's pretty awesome!

It's a Wonderful Life (1946)


Rada bimbang juga sebenernya gw mau naro film ini di urutan 1 atau 2, tapi dengan beberapa pertimbangan gw mutusin untuk naro It's a Wonderful Life di urutan kedua. Tanpa gw jabarin bagaimana It's a Wonderful Life gw yakin pasti udah banyak yang tau, sebuah drama keluarga peraih 5 nominasi Oscar, gw juga udah lama banget nonton ini film, tapi sentuhan dramatisnya masih kerasa sampe sekarang *lebay* ahahah, belum lagi permainan emosi yang di latar belakangi perang dunia kedua, semakin membuat It's a Wonderful Life menjadi film natal yang tidak biasa.

Home Alone (1990)

Gw yakin seyakin-yakinnya orang Indonesia pasti udah gak asing sama film yang satu ini, natal gak natal ini film sering banget di puter di stasiun tv lokal, di saat-saat biasa (bukan natal) emang kadang-kadang gw bosen liat nih film, tapi percaya kalau nonton ini bareng keluarga terutama disaat natal bakal beda feelnya, walau udah kita tonton berkali-kali tapi tetep aja bakal sulit buat bilang bosen ke film ini. 2 Jam lebih kita dipaksa ngeliat aksi konyol yang gak ada matinya dari Kevin McLister, menghadapi pencuri-pencuri dirumahnya. Home Alone sendiri terdiri dari 4 seri, tapi gw lebih ngerekomendasiin untuk nonton yang kesatu dan kedua, karena yang ketiga dan keempat sudah 'keluar' jalur.

Yup, itu dia 10 film natal terbaik yang cocok di tonton untuk menemani liburan, sorry kalo emang banyak yang menurut kalian gak sesuai tapi ya inilah yang menurut gw terbaik hehe, okay terakhir gw skalian ngucapin Merry Christmas buat kalian yang ngerayain, dan makasih udah mau luangin waktu buat baca artikel amatiran ini, semoga di hari penuh kasih ini kita semakin menjadi manusia yang lebih. Amin

Read More >>

Review: 50/50 (2011)


Sudah bukan barang asing jika melihat film bertema melawan ganasnya suatu penyakit, mungkin yang paling sering adalah kanker namun setiap film tersebut memiliki gaya penyampaian yang berbeda-beda, Indonesia sendiri memiliki satu dari sekian banyak film yang mengangkat tema memerangi penyakit ganas. Sebut saja Surat Kecil Untuk Tuhan, film-film bertema seperti ini mayoritas menggambarkan sesuatu yang cenderung di anggap berlebihan, dari segi plot pun, menonton satu atau dua film bertema sejenis mungkin untuk selanjut-selanjutnya akan mudah menebaknya, tapi 50/50 tidak bisa di kategorikan film bertema penyakit keras yang biasa-biasa saja, yang umumnya kita sering kita lihat terlalu sering berlarut dalam kesedihan. 50/50 justru menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan kemasan dan desain yang di bentuk 'unik'.

Meski sudah biasa, namun melihat nama Joseph Gordon-Levitt di cast pasti beberapa orang sudah beranggapan 50/50 bukan film biasa. Dan faktanya memang demikian, ceritanya sama seperti film-film bertema sejenis pada umumnya, Adam Lerner (Joseph Gordon Levitt) yang mengidap penyakit kanker, dan as ussual sudah bisa ditebak pasti itu adalah jenis kanker yang langka hahah, Lerner sendiri memiliki kepribadian yang cenderung fun, tidak terlalu memikirkan akan pertaruhan nyawanya dengan kanker ganas. Lerner memiliki orang-orang yang selalu setia disisinya, seperti sahabat 'gila'nya Kyle (Seth Rogen) dan seorang terapis yang sejak awal setia memotivasi Lerner, Katherine (Anna Kendrick).


Ya, meski cerita di 50/50 tidak terlalu rumit tapi Jonathan Levine, sutradara yang sukses membawa The Wackness menjuarai 'Best Drama' di Sundance Festival tahun 2008, berhasil menuntun penonton lewat emosi yang diperagakan lewat bahasa tubuh Joseph Gordon-Levitt. Juga seorang Seth Rogen yang menjadi pen-supply utama tawa bagi penonton, tidak terlalu berlebihan dosis Rogen disini, sebagai selingan Rogen sudah sangat-sangat berhasil menghidupkan suasana dengan banyolan klasiknya. 50/50 sama sekali tidak memperlihatkan kedatarannya, 96 menit durasi Levine sama sekali tidak membuang-buangnya. Bahkan Levine justru membuat alternatif baru sebuah genre yang sebelumnya di cap cengeng. Selain Levitt dan Rogen yang selama film berhasil menghidupkan suasana, 50/50 juga disokong scoring yang sejak awal senantiasa menghidupkan atmosfer dramatis, juga dari departmen sinematografi yang sangat kontras jika di padu padankan dengan drama yang di bumbui komedi klasik.

Selama 96 menit sangat terlihat bagimana Jonathan Levine mengubah film dengan cerita sederhana menjadi film dengan tontonan mengasyikan sepanjang durasi, tentu applause kita berikan kepada peraih nominasi Golden Globe 2012 untuk kategori 'Best Actor in Leading Role - Drama/Musical'-- Joseph Gordon-Levitt. Ya, akhirnya gw tau juga kenapa dia masuk nominasi Golden Globe 2012, setelah sebelumnya hanya dengar desas-desusnya, Yup, akting Levitt memang brilian terutama jika di kombinasikan dengan script cerdas dari Will Reiser dan di eksuksi dengan sinematografi cantik oleh Jonathan Levine. Ditambah sub-plot dengan sang terapis cantik dan konflik dengan istrinya, tentu akan semakin menghidupkan emosi di 50/50, dan hebatnya lagi Levine mampu meng-kadarkan semua konflik agar tetap tampil dengan seimbang.



Levine memang cerdas, gw akui itu, terkadang menyelipkan komedi diantara drama, namum gak jarang kebalikannya, menyelipkan drama diantara komedi. Dan sekali lagi itu porsinya seimbang, membuat penonton gak gampang bosen. Juga sentuhan emosi yang tanpa harus melibatkan embel-embel lebay didalamnya membuat 50/50 tampil sebagai Drama-Comedy terbaik tahun ini! Well. 50/50 memang memiliki gaya tersendiri dalam menyampaikan penyakit aneh Adam Lerner, dengan dibalut kecerdasan screenplay dan plot, 50/50 tampil dengan tidak membosankan dan tidak mudah ditebak. Sebuah alternatif baru untuk kalian yang sudah bosan melihat kecengeng dan kelebay-an film-film bertema serupa.

Read More >>

Saturday, December 24, 2011

Review: The Ides of March (2011)


 Membahas akting Ryan Gosling di tahun 2011 memang gak ada habisnya, a lot of pro and contra. Banyak yang bilang aktingnya overrated tapi banyak yang bilang juga Ryan Gosling adalah benih baru ranah hiburan Hollywood. Kalau sebelumnya Gosling udah meranin pria playboy di Crazy, Stupid, Love serta pengemudi talk less do more di Drive kini di The Ides of March, Gosling kembali menjadi sosok yang berbeda, menjadi seorang Manajer Kampanye Junior untuk calon orang nomer 1 di Amerika. Akting Gosling disini juga mendapat apresiasi dari HFPA dengan dirinya yang masuk nominasi 'Best Actor' di Golden Globe 2012. Bersaing dengan atasannya di The Ides of March, Goorge Clooney.

The Ides of March bercerita tentang seorang idealis bernama Stephen Mayers (Ryan Gosling) yang berkutat dengan masalah kampanye-nya dengan calon orang nomor 1 di Amerika, Governor Mike Morris (George Clooney). Berhadapan dengan lawan tangguh dari partai oposisi yakni, Ted Pullman (Michael Mantell). Pembuktian keduanya akan segera di akhiri di Ohio, jika saja Morris unggul di Ohio maka pemilu sudah bisa dipastikan adalah miliknya, namun jika sebaliknya Pullman unggul di Ohio, tentu pemilu juga akan menjadi miliknya. The Ides of March tidak lantas berbicara tentang megahnya panggung politik Amerika, di sisi lain The Ides of March juga menceritakan dibalik semua kemegahan itu. Hadirnya Molly Stearns (Evan Rachel Wood) seorang pemecah konsentrasi Steve di sisi lain juga memiliki rahasia yang dapat menghancurkan kampanye Morris. juga kehadiran Paul Zara dan Tom Duffy (Philip Seymour Hoffman dan Paul Giamatti) yang hadir melengkapi kontroversi antara Steve dan Morris.


 Di arahkan langsung oleh seorang aktor peraih Oscar 2006 yang kini merubah haluannya menjadi seorang sutradara, George Clooney. Sejauh ini Clooney sudah menghasilkan 4 film (termasuk The Ides of March). Jika melihat akting Clooney di depan layar pasti publik sudah terbiasa dengan kelihaiaannya, namun apakah di balik layar akan sama? Well, Jika melihat Leatherheads (2008) tampil tidak terlalu buruk, kali ini dengan screenplay garapannya bersama Grant Heslov, dengan bumbu-bumbu politik yang biasanya orang hanya melihat sisi luarnya kali ini Clooney membawa penonton merasakan bagian dalam dari ganasnya politik Amerika *lebay*. Oh ya sudah menjadi ciri khas juga ya, film yang di sutradarai Clooney dan Clooney sendiri menjadi cast di film tersebut.

Menurut gw pribadi sih, gak ada yang terlalu spesial di The Ides of March selain akting brilian Ryan Gosling, masih terbayang-bayang akting dingin doi di Drive, dan di The Ides of March, meski Gosling tidak sedingin di Drive, tapi untuk kriteria seroang juru kampanye muda yang idealis Gosling sudah mampu kembali menghadirkan akting cool-nya. Meski sudah di sokong screenplay juara tapi tetep aja gw ngerasa Clooney kurang mampu nyampeinnya. Cenderung terlalu terburu-buru bahkan. Akting Clooney sendiri disini juga kurang mendapat porsi, yang gw liat Clooney malah asyik sendiri nonjolin Gosling. Ya, meski gak mendapat porsi setara dengan Gosling tapi overall akting Clooney dari segi kualitas setara kok sama Gosling. Sebuah kombinasi hebat melihat 2 aktor yang tahun ini sedang bersinar dan yang mencoba kembali bersinar beradu akting di satu film.


The Ides of March juga menuntut penontonnya untuk serius, terlihat dari dialog-dialog tajam yang disuguhkan, bahkan kunci cerita The Ides of March selain ada di screenplay juga ada di dialog. Dan lagi-lagi, gak bermasuk overrated terhadap Gosling, tapi akting doi emang brilian disini gak heran kalo masuk nominasi Golden Globe. Sukses banget meranin karakter dengan dialog berbelit, ngingetin gw sama Jesse Eisenberg di The Social Network tahun lalu. Juga selipan drama, yang sebenernya potensial menaikan tensi cerita menjadi lebih thrilling, tapi gak terlalu di tonjolin Clooney. The Ides of March juga cenderung mempertunjukan tata sinematografi yang elegan, memperlihatkan sisi glamour dari politik Amerika. Clooney juga gak terlalu macam-macam dengan kesuksesannya di pemilu, karena The Ides of March memang tidak mutlak berbicara tentang kesuksesan seorang juru kampanye junior dalam mensukseskan calon presiden Amerika, tapi lebih ke polemik internal dalam kesuksesan itu sendiri. Yes, meski The Ides of March belum terlalu bisa naklukin hati gw lewat eksekusi cerita, tapi untuk ketiga kalinya Gosling kembali bisa naklukin hati gw dengan kini menjadi seorang politikus naif di The Ides of March.

Read More >>

Sunday, December 18, 2011

Review: Spy Kids: All the Time in the World (2011)


Spy Kids, hmm.. Kayaknya udah bukan kata yang asing. Identik dengan gadget-gadget yang 'super' canggih. Tidak seperti Spy Kids (2001), Spy Kids: The Island of Dream (2002) dan Spy Kids 3-D: Game Over (2003) yang lebih memfokuskan ceritanya ke Carmen Cortez (Alexa Vega) dan Juni Cortez (Daryl Sabara), kini Spy Kids 4 membentuk generasi baru dari Spy Kids, vakum selama 8 tahun tentu membuat Alexa Vega dan Daryl Sabara bertambah usia. Robert Rodriguez yang masih setia menggarap frachise 4 seri ini harus teruji kemampuan mengolah ceritanya, bagaimana membuat era baru Spy Kids dengan jarak 8 tahun dari seri sebelumnya, tentunya tanpa membuat penonton asing dengan semua karakter yang disuguhkan. Setelah sukses dengan 3 franchise sebelumnya, Robert Rodriguez kini hadir dengan sebuah inovasi baru yang sebelumnya belum pernah saya rasakan, sebuah inovasi yang memaksa penonton menikmati wewangian bernama aroma scope, aroma scope terdiri dari angka 1 sampai 8, nantinya di layar akan tertulis sebuah angka dan penonton dipaksa menggosok angka yang tertulis ke hidung, kalau buat gw pribadi itu cukup annoying tergolong 4D yang gagal bahkan, penonton mesti cekatan ngeliat nomernya kalau aja adegan udah gak singkron mungkin jadinya fail, penonton jadi gagal ngerasain apa yang karakter rasakan.

Spy Kids 4: All the Time in the World atau kita ringkas Spy Kids 4 dibuka dengan adegan Agent Marrisa Wilson (Jessica Alba) Marrisa adalah keponakan dari Carmen Cortez, oh ya ngomong-ngomong dia ini karakter baru ya, sama sekali gak ada penjelasan who is Marrisa diawalan film. Lanjut, Marrisa adalah agen OSS yang saat dalam masa pra-pensiun, dan dalam masa pra-pensiunnya itu Marissa ditugaskan untuk memata-matai penjahat kelas kakap bernama Tick-Tock (Jeremy Piven), penjahat yang berhasil membuat ala pemberhenti waktu. 10 menit pertama, Spy Kids 4 sudah menyuguhkan adegan kejar-kejaran yang sebetulnya memaksa penonton untuk tertawa, namun sepertinya itu gagal, paksaan-paksaan lewat dialog yang terkesan tajam sama sekali tidak terasa. Rodriguez terkesan tidak basa basi di awalan film, terus menggebrak dengan rentetan karakterisasi dengan dialog antar karakternya yang mudah dicerna. Mulai mengenalkan 2 anak tiri Marissa Rebecca dan Cecil Wilson (Rowan Blanchard dan Mason Cook) yang sangat membenci Marissa, mulai mengenalkan suami Marissa, Wilbur Wilson (Joel McHale) yang disibukan dengan acaranya "Spy Hunter".

 
*comeback-nya Carmen dan Juni Cortez*

Puas, dengan segelintir karakterisasi yang disampaikan dengan tenang, Rodriguez memulai jalan ceritanya dengan dipanggilnya kembali Marissa ke OSS, Marissa kali ini dituntut meladeni geng pencuri waktu atau kita sebut Time Keeper, yang di duga masih ada keterkaitannya dengan Tick-Tock. Rodriguez juga mulai membangun sub-plot dengan masalah-masalah internal keluarga Marissa. Dan lagi-lagi action yang dibuat lucu oleh Rodriguez seolah-olah menginginkan penonton untuk terawa hasilnya adalah gagal, untuk kesekian kalinya penonton gagal merasakan apa yang karakter rasakan, peran aroma scope pun tidak bisa membantu banyak, penempatannya yang terbilang salah, justru di bagian datar yang rata-rata dihabiskan penonton untuk berhalusinasi apa yang akan terjadi selanjutnya, aroma scope justru ditempatkan. Terlepas dari penempatannya wangi aroma scope juga sebenarnya gagal memvisualisasikan apa yang karakter rasakan. Terkadang saya malah berfikir wangi aroma scope-nya dilebih-lebihkan.

Akting Jesicca Alba disini memang tidak lebih baik dari film-filmnya yang lain seperti, di Spy Kids ini Jessica kurang terlihat menjiwai dengan karakter spy beranak 3. Cerita yang disampaikan cepat dan tergolong instan juga jadi salah satu faktor yang membuat Spy Kids 4 tampil dengan tidak lebih baik dari prequel-prequelnya terlebih melihat di sini kita di suguhkan the new generation of spy kids, dan faktanya meski dibuat di era visual effect sedang berjaya, Spy Kids 4 justru tampil dengan minim visual effect, hanya memanfaatkan gadget-gadget canggih yang sebetulnya tidak cukup untuk kategori film ber-genre di tahun 2011 dan perkelahian konyol yang di desain memang untuk di tertawakan. Dan jangan lupakan peran seorang anjing super yang bisa bicara yang sepanjang film sering kali melontarkan celotehan-celotehan uniknya.


Ya, meski udah di bantu dengan aktir sekelas Jessica Alba, tapi teteap aja Spy Kids 4 ini gak sebaik prequel-prequelnya yang hanya bermodalkan visual effect dan akting dari Alexa Vega dan Daryl Sabara. Untuk bagaimana the new spy kids di film ini, tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk, Rowan Blanchard dan Mason Cook sudah cukup menjiwai peran mereka masing-masing, bahkan kalau boleh jujur lebih menjiwai dari peran Jessica Alba sebagai ibu tiri mereka, dan meski sudah dibantu juga dengan tekonologi 4D tetap saja tidak akan memperbaiki esensi Spy Kids yang diseri keempatnya ini terasa hilang. Well tidak seperti franchise sebelumnya yang cukup memorable di ingatan kita, mungkin kali ini Spy Kids 4 walau sudah dengan terobosan 4Dnya dan comeback-nya Carmen dan Juni Cortez dengan situasi dan kondisi yang berbeda tidak bisa se-memorable seri sebelumnya, bahkan condong mudah dilupakan.

Read More >>

Saturday, December 17, 2011

Review: Garuda di Dadaku 2 (2011)


Dua tahun lalu, ketika prestasi sepak bola tanah air sedang datar-datarnya tiba-tiba Ifa Isfansyah menggebraknya dengan film bernama Garuda di Dadaku, dengan mengangkat tema impian seorang anak menjadi pemain timnas yang diselingi masalah pribadi, tanggapan masyarakat terhadap Garuda di Dadaku juga diluar dugaan mampu mengobati ketidak teraturan persepak bolaan di Indonesia, Garuda di Dadaku juga sekaligus mengangkat nama Emir Mahira ke jajaran aktor muda berbakat Indonesia, dan kini.. Garuda di Dadaku kembali dengan sequelnya Garuda di Dadaku 2, meski tidak kembali di sutradarai Ifa Isfansyah dan kini mempercayakan bangku sutradara pada Rudi Soedjarwo namun tetap tidak menghilangkan ciri khas dari prequelnya yakni, dikemas dengan asyik dan tidak membosankan.

Jika di Garuda di Dadaku, Bayu (Emir Mahira) memiliki problem dengan izin dari kakeknya, kini di Garuda di Dadaku 2 Rudi Soedjarwo lebih me-realistiskan cerita dengan polemik Bayu melawan egonya sendiri. Bayu yang kini sudah memasuki masa Sekolah Menengah Pertama juga sudah mengenal arti cinta, meski tidak terlalu di tonjolkan tapi sebagai selipan, Rudi Soedjarwo sudah berhasil menempatkannya. Anya (Monica Sayangbati) yang akting sebelumnya bisa kita saksikan di Lima Elang, yang sejak awal Rudi sudah mengkarakterisasinya menjadi karakter yang terlihat tidak biasa kedepannya. Masih ada Heri (Aldo Tansani) yang kini lebih menghidupkan cerita dengan konfliknya dengan Bayu, juga kehadiran Yusuf, rekan Bayu di Timnas U-15 yang sukses mengacaukan konsentrasinya di luar maupun di dalam lapangan menjadi bumbu penyedap alami yang cukup mencolok namun tidak menggangu intensitas cerita.


Garuda di Dadaku 2 memang bermain pada tempo yang aman, terkadang terlalu cepat namun bisa di tutupi dengan dialog-dialog yang santai, dan dua aktor beda generasi yang bermain sangat-sangat apik, Emir Mahira dan Rio Dewanto, sebagai seorang peraih penghargaan aktor terbaik Piala Citra 2011 sudah seharusnya Emir bermain all out tanpa melihat siapa lawan mainnya. Dan untuk Rio Dewanto, setelah sebelumnya kita sudah lihat bagaimana Ia bermanja-manja dengan aktingnya sebagai seorang gay di Arisan! 2, di Garuda di Dadaku 2, Rio tampil dengan karakter yang 180 derajat berbeda namun dengan kepecayaan diri dan kualitas aking yang sama! Sama-sama mengesankan!

Terlepas dari duo maut Emir dan Rio yang setiap detiknya mampu memainkan emosi penonton, Rudi tidak lantas membiarkan Garuda di Dadaku 2 tampil dengan garing dan datar, sama seperti prequelnya, Garuda di Dadaku 2 juga menuntut penontonnya agar tetap memperhatikan layar. Terlebih cara seorang Rudi Soedjarwo menambahkan sub-plot yang tidak kita temui di prequelnya, seperti kecemburuan Bayu terhadap Yusuf, namun dengan segelintir sub-plot yang disuguhkan, jalan cerita Garuda di Dadaku tetap saja mudah di tebak. Wajar, kalau orang nonton Garuda di Dadaku 2 itu dengan a lot of expectation, melihat kesuksesan film pertamanya pasti ngebuat orang penasaran ngeliat sequelnya, dan faktanya masih belum ada perubahan yang signifikan dari segi cerita, jika membandingkan dengan film yang mengangkat tema sepak bola sebelumnya, Tendangan Dari Langit, Garuda di Dadaku bisa dikatakan kalah variatif dalam menampilkan ide cerita.


Walau gak lebih baik dari prequelnya, gw pribadi tetep suka kok bagaimana Rudi Soedjarwo menyampaikan filmnya, mengarahkan anak muda peraih Piala Citra. Untuk shoot didalam lapangan kayaknya om Rudi gagal mendramatisasi suasana, meski dengan seglintir tambahan lumpur atau hujan tetep aja, penonton kurang bisa ngerasain berada di lapangan, tapi untuk euforia kesenangan, buat gw sih udah ngena, kesenangannya hampir setara dengan menonton pertandingan sepak bola sungguhan, walau di akhir-akhir cerita terlihat terburu-buru dan efeknya kualitas klimaks jadi sedikit terganggu, konflik yang tergolong lambat, justru di selesaikan dengan penyelesaian yang super duper instan. Garuda di Dadaku 2 memang terbilang tidak membosankan, bahkan sekali lagi Garuda di Dadaku 2 justru menuntut penonton memperhatikan scene demi scene yang di suguhkan. Untuk atmosfer dalam lapangan Rudi Soedjarwo juga sudah terbilang baik menggambarkannya, tapi jika saja lebih meng-eskpose kehebohan penonton pasti akan jauh lebih men-sugestikan diri kita menjadi lebih nasionalis melihatnya. Tapi di luar lapangan dengan cukup banyak sub-plot yang di mainkan, Rudi Soedjarwo seperti kurang berhasil memanfaatkan durasinya, alhasil, meski sudah di selesaikan masih banyak yang terlihat 'gantung'.

Read More >>