Monday, December 26, 2011

Review: Sherlock Holmes: A Games of Shadow (2011)

  
Sherlock Holmes, sebuah karya berusia ratusan tahun yang terbentuk dari buah pikiran seorang penulis fiksi berkebangsaan Inggris, Arthur Conan Doyle. Sudah melewati berbagai macam penafsiran yang berbeda, dan pada puncaknya pada tahun 2009 Sherlock Holmes di filmkan oleh Warner Bros. Sekaligus mengangkat nama Robert Downey Jr. sebagai ikon Sherlock yang baru. Tidak banyak yang berubah di Sherlock Holmes: A Games of Shadow, masih di sutradarai oleh Guy Ritchie, serta di isi oleh cast yang tidak jauh berbeda juga, masih menempatkan Robert Downey Jr. dan Jude Law di deretan utama. Perbedaannya hanya terletak di screenplay, jika Sherlock Holmes di tahun 2009 ditulis oleh Michael Robert Johnson dan Anthony Peckham, kini di A Game of Shadow posisi itu menempatkan duo Mulroney (Michele Mulroney, Kieran Mulroney) sebagai dalangnya. Dan Guy Ritchie sebagai pemegang kendali utama jelas menjadi yang paling terbebani mengingat Sherlock Holmes (2009) yang sukses memvisualisasikan era baru Sherlock Holmes.

Masih ber-setting tahun 1891, Sherlock Holmes: A Game of Shadow dibuka dengan sebuah adegan ledakan hebat di menit-menit awal film. Berlanjut ke adegan penyamaran Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.) yang sedang mencari informasi tentang sebuah surat yang sedang di perebutkan. Guy Rithcie kembali mengantar kita ke kisah romansa antara Holmes dan wanita yang menjadi pujaan sekaligus saingan, Irene Adler ( Rachel McAdams). Namun lawan sesungguhnya Holmes kini adalah Prof. James Moriarty (Jared Harris), sosoknya yang mungkin sudah tidak asing bagi penggemar Sherlock Holmes. Musuh terberat Holmes yang memiliki kemampuan analisa yang tidak kalah hebat dari dirinya. Guy Ritchie juga coba mengenalkan kita pada persoaalan antara Holmes dan sahabatnya, Dr. John Watson (Jude Law) yang sudah menikah dan bersiap meninggalkan dunia per-detektifan. Namun disaat-saat penyelidikan yang harusnya digunakan oleh Watson untuk berbulan madu, mereka justru bertemu dengan wanita gypsi bernama Simza (Noomi Rapace). Dan pertmenuan itu justru membuahkan konflik yang diluar dugaan, Simza yang konon memiliki keterkaitan dengan Moriarty justru akan membawa Holmes dan Watson ke petualangan epik yang mendebarkan.


Dengan skrip yang kini ditulis oleh duo Mulroney ternayata tidak menjamin cerita A Game of Shadow akan lebih baik dari prequelnya, untuk ukuran cerita detektif A Game of Shadow justru tergolong membosankan. Di tambah tidak adanya sesuatu yang baru selain sang villain utama. Rithcie juga masih sering memvisualisasikan pikiran Holmes ketika sedang berusaha memecahkan masalah. Mungkin jika kita melihat ide ini 2 tahun silam, akan sangat-sangat unik melihatnya, tapi kini ide itu tampak tidak mengejutkan bahkan cenderung membuang-buang waktu. Dan Ritchie juga masih belum bisa memperbaiki ketidak chemistry-an Downey Jr. dan Jude Law. Seperti prequelnya yang di beberapa bagian mereka kurang memiliki kerja sama, di sequelnya kini mereka kembali melakukan blunder yang sama, bahkan sedikit lebih parah, ketika sepanjang 128 menit Rithcie asyik sendiri menonjolkan Holmes dan lupa mengkaraterisasi karakter lain dengan maksimal, terutama Watson yang seharusnya memiliki peran yang cukup vital. Yup, adanya sub-konflik antara Holmes dan Watson harusnya mampu di manfaatkan lebih oleh Ritchie dan membuat kedua karakter itu lebih hidup ketika tampil satu screen.

Bersyukur A Game of Shadow masih mewariskan sinematografi apik arahan sinamtografer peraih Oscar, Philippe Rousselot, terutama ketika Rousselot mulai menunjukan pergerakan lambat pada kamera yang berujung pada adegan slow motion, dan tidak perlu khawatir slow motion-nya akan membuat kita muak seperti Resident Evil: Afterlife, karena dengan sudah memapang nama Rousselot di clapper sebagai seorang Director of Photography itu sudah jadi nilai positif tersendiri. Serta nama Hans Zimmer yang mengisi musik di A Game of Shadow yang senantiasa memperbaiki segala kekacauan aspek di film ini. Sedikit kecewa memang A Game of Shadow justru tampil maksimal di belakang kamera, namun sebaliknya di depan kamera, script yang terlalu kaku dan chemistry Holmes-Watson yang tak kunjung membaik. Moriarty yang sebelumnya di gadang-gadang akan menjadi villain yang 'berhasil' nampaknya hanya menjadi jempol belaka. Ritchie kurang mampu memberi porsi yang seharusnya pada Jared Harris, padahal aktinya disini sebetulnya sudah bagus hanya porsinya saja yang belum setimpal dan sekali lagi saya rasa ini adalah salah satu akibat dari Ritchie yang terlalu asyik menggali karakter Holmes. Hampir semua karakter yang ada di A Game of Shadow, ya termasuk Watson yang seharusnya menjadi rekan berpikir setimpal bagi Holmes serta Moriarty yang seharusnya menjadi lawan seimbang bagi Holmes.


Ya, pada intinya gw akuin kalo A Game of Shadow gak sebaik prequelnya, banyak aspek-aspek di prequelnya yang sudah berlubang justru tambah di perbesar lubangnya. Kurangnya ruang untuk karakter sepertinya menjadi permasalah utama, seperti yang udah gw jabarin di atas tadi seandainya ruang untuk karakter bisa lebih di maksimalin Ritchie pasti A Game of Shadow bisa berakhir lebih baik dari prequelnya, Ya, dengan durasi 128 menit emabg seharusnya Rithcie bisa manfaatin itu dengan ruang yang cukup untuk semua karakter, apalagi karakter di A Game of Shadow ini tergolong banyak, ya.. untuk film bertema detektif gw rasa emang udah seharusnya walau secara gak langsung karakter harus di jelasin dengan maksimal. Well, meski begitu setidaknya A Game of Shadow bisa mengobati gw dan pecinta film ber-plot detektif walau tidak terlalu rumit untuk ukuran karya berusia ratusan tahun.





No comments:

Post a Comment