Saturday, December 17, 2011

Review: Garuda di Dadaku 2 (2011)


Dua tahun lalu, ketika prestasi sepak bola tanah air sedang datar-datarnya tiba-tiba Ifa Isfansyah menggebraknya dengan film bernama Garuda di Dadaku, dengan mengangkat tema impian seorang anak menjadi pemain timnas yang diselingi masalah pribadi, tanggapan masyarakat terhadap Garuda di Dadaku juga diluar dugaan mampu mengobati ketidak teraturan persepak bolaan di Indonesia, Garuda di Dadaku juga sekaligus mengangkat nama Emir Mahira ke jajaran aktor muda berbakat Indonesia, dan kini.. Garuda di Dadaku kembali dengan sequelnya Garuda di Dadaku 2, meski tidak kembali di sutradarai Ifa Isfansyah dan kini mempercayakan bangku sutradara pada Rudi Soedjarwo namun tetap tidak menghilangkan ciri khas dari prequelnya yakni, dikemas dengan asyik dan tidak membosankan.

Jika di Garuda di Dadaku, Bayu (Emir Mahira) memiliki problem dengan izin dari kakeknya, kini di Garuda di Dadaku 2 Rudi Soedjarwo lebih me-realistiskan cerita dengan polemik Bayu melawan egonya sendiri. Bayu yang kini sudah memasuki masa Sekolah Menengah Pertama juga sudah mengenal arti cinta, meski tidak terlalu di tonjolkan tapi sebagai selipan, Rudi Soedjarwo sudah berhasil menempatkannya. Anya (Monica Sayangbati) yang akting sebelumnya bisa kita saksikan di Lima Elang, yang sejak awal Rudi sudah mengkarakterisasinya menjadi karakter yang terlihat tidak biasa kedepannya. Masih ada Heri (Aldo Tansani) yang kini lebih menghidupkan cerita dengan konfliknya dengan Bayu, juga kehadiran Yusuf, rekan Bayu di Timnas U-15 yang sukses mengacaukan konsentrasinya di luar maupun di dalam lapangan menjadi bumbu penyedap alami yang cukup mencolok namun tidak menggangu intensitas cerita.


Garuda di Dadaku 2 memang bermain pada tempo yang aman, terkadang terlalu cepat namun bisa di tutupi dengan dialog-dialog yang santai, dan dua aktor beda generasi yang bermain sangat-sangat apik, Emir Mahira dan Rio Dewanto, sebagai seorang peraih penghargaan aktor terbaik Piala Citra 2011 sudah seharusnya Emir bermain all out tanpa melihat siapa lawan mainnya. Dan untuk Rio Dewanto, setelah sebelumnya kita sudah lihat bagaimana Ia bermanja-manja dengan aktingnya sebagai seorang gay di Arisan! 2, di Garuda di Dadaku 2, Rio tampil dengan karakter yang 180 derajat berbeda namun dengan kepecayaan diri dan kualitas aking yang sama! Sama-sama mengesankan!

Terlepas dari duo maut Emir dan Rio yang setiap detiknya mampu memainkan emosi penonton, Rudi tidak lantas membiarkan Garuda di Dadaku 2 tampil dengan garing dan datar, sama seperti prequelnya, Garuda di Dadaku 2 juga menuntut penontonnya agar tetap memperhatikan layar. Terlebih cara seorang Rudi Soedjarwo menambahkan sub-plot yang tidak kita temui di prequelnya, seperti kecemburuan Bayu terhadap Yusuf, namun dengan segelintir sub-plot yang disuguhkan, jalan cerita Garuda di Dadaku tetap saja mudah di tebak. Wajar, kalau orang nonton Garuda di Dadaku 2 itu dengan a lot of expectation, melihat kesuksesan film pertamanya pasti ngebuat orang penasaran ngeliat sequelnya, dan faktanya masih belum ada perubahan yang signifikan dari segi cerita, jika membandingkan dengan film yang mengangkat tema sepak bola sebelumnya, Tendangan Dari Langit, Garuda di Dadaku bisa dikatakan kalah variatif dalam menampilkan ide cerita.


Walau gak lebih baik dari prequelnya, gw pribadi tetep suka kok bagaimana Rudi Soedjarwo menyampaikan filmnya, mengarahkan anak muda peraih Piala Citra. Untuk shoot didalam lapangan kayaknya om Rudi gagal mendramatisasi suasana, meski dengan seglintir tambahan lumpur atau hujan tetep aja, penonton kurang bisa ngerasain berada di lapangan, tapi untuk euforia kesenangan, buat gw sih udah ngena, kesenangannya hampir setara dengan menonton pertandingan sepak bola sungguhan, walau di akhir-akhir cerita terlihat terburu-buru dan efeknya kualitas klimaks jadi sedikit terganggu, konflik yang tergolong lambat, justru di selesaikan dengan penyelesaian yang super duper instan. Garuda di Dadaku 2 memang terbilang tidak membosankan, bahkan sekali lagi Garuda di Dadaku 2 justru menuntut penonton memperhatikan scene demi scene yang di suguhkan. Untuk atmosfer dalam lapangan Rudi Soedjarwo juga sudah terbilang baik menggambarkannya, tapi jika saja lebih meng-eskpose kehebohan penonton pasti akan jauh lebih men-sugestikan diri kita menjadi lebih nasionalis melihatnya. Tapi di luar lapangan dengan cukup banyak sub-plot yang di mainkan, Rudi Soedjarwo seperti kurang berhasil memanfaatkan durasinya, alhasil, meski sudah di selesaikan masih banyak yang terlihat 'gantung'.

5 comments:

  1. sayang ya gak ada ostnya kayak dulu, padahal seandainya ada mungkin bisa se fenomenal ost prequelnya

    ReplyDelete
  2. setuju banget,, kadang2 terkesan terburu2

    ReplyDelete
  3. film gdd 2 bagus banget apalagi kak emir nya

    ReplyDelete
  4. Iyaa film nya oke banget. Si emir juga acting nya bagus :)

    ReplyDelete