Tuesday, November 29, 2011

Film Review: Melancholia (2011)


Lars Von Trier, sutradara yang sudah terkenal dengan kontroversi-nya serta terkenal mampu menggambarkan dengan baik suasana penuh duka dan tekanan. Lars sebelumnya dikenal lewat AntiChrist dan Dancer In The Dark. Lars memiliki ciri khas tersendiri dalam membawakan film-filmnya, sulit digambarkan dengan kata-kata dan sulit untuk sutradara lain menyamainya. Namun dengan ciri khasnya Lars pernah mencicipi indahnya memasuki nominasi Oscar 2001, dengan masuk nominasi Best Music, Original Song untuk film Dance In The Dark yang juga dirilis tahun 2001.

Lars kembali menunangkan inspirasi-inspirasi gilanya dalam bentuk audio-visual, kali ini dengan film berjudul Melancholia, sebuah drama berdurasi lebih dari 120 menit yang tetap memiliki ciri khas dari Lars Von Trier. Melancholia dibuka dengan beberapa gambar yang sebenarnya sangat menjelaskan bahwa ada planet yang akan bertubrukran dengan bumi. Planet itu bernama Melancholia. Perlahan demi perlahan dalam filmnya Lars menjelaskannya dengan baik, dan menuntun penonton mencapai klimaks. Meski film ini berjudul Melancholia yang notabene merupakan planet yang akan bertubrukan dengan bumi di film ini sendiri, tidak lantas membuat Lars membuat film yang hanya berisi adegan bersiap-siap akan datangnya bencana, a lot of special effect. Lars coba terus mengembangkan semua karakter dalam filmnya dengan membagi dua bagian di Melancholia ini, bagian pertama lebih fokus ke Justine sedangkan bagian kedua terfokus pada kakak Justine, Claire, yang sangat-sangat dibuat depresi dengan isu bertabrakannya bumi dengan planet Melancholia.

Bukan gaya Lars memang jika dalam filmnya terdapat satu peran sentral yang selama film benar-benar tersorot karakternya. Kali ini Lars mengambil cerita tentang seorang wanita Justine (Kirsten Dunst) yang akan menikah dengan seorang pria bernama Michael (Alexander Skarsgard) dengan biaya pernikahan yang ditanggung sepenuhnya oleh kakak Justine, Claire (Charlotte Gainsbourg) dan suaminya, John (Kiefer Sutherland). Justine mengalami tekanan yang begitu besar menjelang pernikahannya, depresi berat menghantuinya. Singkat cerita, disela-sela pesta menjelang pernikahnnya Justine melihat sebuah bintang yang bersinar jauh lebih terang dari bintang-bintang lainnya. Dan bintang inilah yang nantinya akan disebut Melancholia, yang ternyata adalah sebuah planet yang juga seperti udah gw jelasin diatas.. Akan bertabrakan dengan bumi.


Buat orang yang gak demen film ber-alur lambat mungkin Melancholia adalah mimpi buruk. Berdurasi lebih dari dua jam dan dipenuhi adegan-adegan basa basi. Tapi dihiasi sinematografi yang cantik, terkesan gelap namun indah. Usahakan menonton Melancholia pada saat mood yang tepat, gak mood dikit pasti bawaannya pengen nyepetin film. Nikmati Melancholia sepenuhnya. Ditambah akting all out dari Kristen Dunst di kedua bagian film membuat Melancholia semakin terasa atmosfernya. Bukannya hanya Kristen Dunst yang all out di film ini, Charlotte Gainsbourg juga salah satu karakter yang membuat Melancholia hidup. Two thumbsup buat Lars dalam soal pengembangan karakter di Melancholia.


Sekali lagi meski terkadang Melancholia terkesan lambat dan bikin ngantuk tapi perlu dihargai gimana Lars Von Trier, sutradara sekaligus penulis skenario ngebentuk sebuah film melankolis-dramatis-realistis yang begitu nyata. Oh ya satu lagi, di Melancholia ini ada satu faktor lagi yang ngebuat film ini bisa hidup. Sinematografinya, dengan cameraming yang terkesan tergesa-gesa bahkan lebih mirip dikatakan cameraming film mokumenter dan jarang berganti angle, mungkin mengganti angle hanya ketika berdialog, serta scoring yang ditempatkan memang disaat yang tepat, mungkin Lars berfikir jika tidak tepat memakai scoring lebih baik tidak memakai socring sama sekali. Karena disaat Melancholia melewati fase-fase datarnya Lars justru tidak mengenakan scoring. Bener-bener sutradara yang beda dari yang lain!

Overall Melancholia sudah berhasil menyajikan sebuah drama dengan kualitas cerita, akting, dan teknis yang mempesona.. Sebuah karya epic dari Lars Von Trier yang mencoba menghibur penonton dengan formula Lars sendiri. Dengan tidak menghilangkan ciri khas dari Lars, penonton pasti sudah bisa mengenal bagaimana Lars memperlakukan cerita dan karakter di filmnya.

Release Date: November 11, 2011 Release Date: November 11, 2011 (limited) | Studio: Magnolia Pictures | Director: Lars von Trier | Screenwriter: Lars von Trier | Starring: Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg, Alexander Skarsgård | Genre: Action, Sci-Fi, Thriller | MPAA Rating: R (for some graphic nudity, sexual content and language) 



Read More >>

Sunday, November 27, 2011

Film Festival: Nominasi Festival Film Indonesia 2011


Selain Jakarta International Film Festival yang beberapa tahun ini sedang terkendala penyelenggaraannya, menjelang akhir tahun perfilman Indonesia juga diwarnai oleh Festival Film Indonesia, ajang penghargaan tertinggi bagi perfilman tanah air. FFI pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 dan berlanjut di tahun 1960 dan 1967 (dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional), sebelum akhirnya mulai diselenggarakan secara teratur pada tahun 1973. Seiring pasang-surutnya perfilman tanah air, FFI pun terhenti ditahun 1992 dan mulai berjalan kembali ditahun 2004 dengan penambahan penghargaan pada Piala Vidya yang dikhususkan untuk insan pertelevisian tanah air.

Dengan tema "Perbaikan Membutuhkan Perubahan" tahun ini FFI kembali bergulir 41 film mendaftar dan 38 film dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai peserta dan dalam kompetisi film pendek terdapat 99 karya peserta yang lolos verifikasi. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ambil contoh pada tahun 2010, panitia hanya menerima 63 karya.

Piala Citra yang akan diberikan penghargaannya pada 10 Desember nanti menyajikan 13 nominasi untuk film bioskop, 1 nominasi film pendek, dan 1 nominasi film dokumenter. Sedangkan untuk Piala Vidya yang akan diberikan penghargaannya pada 6 Desember menyajikan 13 nominasi. Semua itu siap diperebutkan oleh masing-masing nominator.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya FFI pasti meninggalkan sedikit gejolak kontorversi dalam hal nominasi, film-film yang mendapat banyak pujian justru tidak dimasukan kedalam nominasi.. Sedangkan film yang hanya mementingkan kualitas penjualan justru mendulang banyak nominasi, tidak bermaksud membela, ambil contoh Dibawah Lindungan Ka'bah, film yang dikirim Indonesia dalam ajang pernghargaan paling bergengsi di dunia Academy Award atau sering kita sebut Oscar.. Seperti yang kita tahu Dibawah Lindungan Ka'bah dikirim Indonesia untuk memperebutkan tempat nominasi dalam kategori Best Foreign Language Film. Ya.. Dengan mengusung slogan "Perbaikan Membutuhkan Perubuahan" sudah selayaknya kita sama-sama berdoa agar semua sistem yang berjalan di FFI 2011 ini berjalan dengan baik. Dan inilah nominasi dari unsur-unsur film bioskop FFI 2011, sedangkan Nominasi Film Terbaik akan ditetapkan oleh Dewan Juri, yang sekaligus juga memilih seluruh pemenang Piala Citra FFI 2011.

Sutradara Terbaik:

1. Benni Setiawan - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
2. Hanung Bramantyo - '?'
3. Hanung Bramantyo - 'Tendangan dari Langit'
4. Ifa Isfansyah - 'Sang Penari'
5. Kamila Andini - 'Mirror Never Lies'

Penulis Skenario Terbaik:

1. Benni Setiawan - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
2. Dirmawan Hatta dan Kamila Andini - 'Mirror Never Lies'
3. Salman Aristo - 'Jakarta Maghrib'
4. Salman Aristo, Ifa Isfansyah & Shanty Harmayn - 'Sang Penari'
5. Titien Wattimena - '?'

Penulis Cerita Asli Terbaik

1. Benni Setiawan - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
2. Hanung Bramantyo - '?'
3. Kamila Andini - 'Mirror Never Lies'
4. Salman Aristo - 'Jakarta Maghrib'
5. Sarjono Sutrisno & Muhammad Yusuf - 'Tebus'

Pengarah Sinematografi Terbaik

1. Faozan Rizal - 'Pengejar Angin'
2. Gunung Nusa Pelita - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
3. Ipung Rachmat Syaiful - 'The Mirror Never Lies'
4. Yadi Sugandi - '?'
5. Yadi Sugandi - 'Sang Penari'

Pengarah Artistik Terbaik

1. Ary Juwono - 'Catatan Harian Si Boy'
2. Fauzi - '?'
3. Fauzi - 'Tendangan dari Langit'
4. Frans X.R. Paat - 'Batas'
5. Eros Eflin - 'Sang Penari'

Penyunting Gambar Terbaik

1. Cesa David Luckmansyah - '?'
2. Cesa David Luckmansyah - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
3. CCesa David Luckmansyah - 'Sang Penari'
4. Aline Jusria & Dinda Amanda - 'Catatan Harian Si Boy'
5. Wawan I Wibowo - 'Pengejar Angin'

Penata Suara Terbaik

1. Adityawan Susanto & Trisno - 'Kentut'
2. Adityawan Susanto & M. Ichsan Rachmaditta - 'Masih Buakan Cinta Biasa'
3. Khikmawan Santosa - 'Lima Elang'
4. Satrio Budiono & Saft Daultsyah - '?'
5. SSatrio Budiono & Sutrisno - 'Tendangan dari Langit'

Penata Musik Terbaik

1. Adam S. Permana - 'Rumah Tanpa Jendela'
2. Aksan Sjuman dan Titi Sjuman - 'Rindu Purnama'
3. Thoersi Argeswara - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
4. Thoersi Argeswara - 'Surat Kecil untuk Tuhan'
5. Thoersi Argeswara - 'The Mirror Never Lies'

Pemeran Utama Pria Terbaik

1. Alex Komang - 'Surat Kecil untuk Tuhan'
2. Emira Mahira - 'Rumah Tanpa Jendela'
3. Ferdy Tahier - 'Masih Bukan Cinta Biasa'
4. Oka Antara - 'Sang Penari'
5. Tio Pakusadewo - 'Tebus'

Pemeran Utama Wanita Terbaik

1. Dinda Hauw - 'Surat Kecil untuk Tuhan'
2. Fanny Fabriana - 'True Love'
3. Gita Novalista - 'The Mirror Never Lies'
4. Prisia Nasution - 'Sang Penari'
5. Salma Paramitha - 'Rindu Purnama'

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik

1. Agus Kuncoro - '?'
2. Agus Kuncoro - 'Tendangan dari Langit'
3. Hendro Djarot - 'Sang Penari'
4. Landung Simatupang - 'Rindu Purnama'
5. Mathias Muchus - 'Pengejar Angin'

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik

1. Atiqah Hasholan - 'The Mirror Never Lies'
2. Dewi Irawan - 'Sang Penari'
3. Endhita - '?'
4. Poppy Sovia - 'Catatan Harian Si Boy'
5. Wulan Guritno - 'Masih Bukan Cinta Biasa'

Film Pendek

Dari 98 film peserta FFi 2011 yang dinilai pada 2-17 November 2011 di Ruang Penjurian FFI 2011, Dewan Juri Film Pendek menetapkan lima nominasi sebagai berikut:

1. 'Bermula dari A' - B.W. Purba Negara
2. 'Payung Merah' - Edward Gunawan & Andri Cung
3. 'Say Hello To Yellow' - B.W. Purba Negara
4. 'The Black Journey' - Astu Prasidya
5. 'Tanya Jawab' - Jason Iskandar

Film Dokumenter

Dewan Juri Film Dokumenter menilai 60 film peserta FFI pada 17-22 November 2011 di Ruang Penjurian FFI 2011 dan menetapkan lima nominasi sebagai berikut:

1. 'Cerita dari Tapal Batas' - Wisnu Adi
2. 'Donor ASI' - Ani Ema Susanti
3. 'Lampion-Lampion' - Dwitra J. Ariana
4. 'Metamorfoblus' - Dossy Omar
5. 'Penjara dan Nirwana' - Daniel Rudi Haryanto
Read More >>

Review: Poconggg Juga Pocong (2011)


Poconggg.. Bagi para pengguna akun micro blogging-twitter jelas nama itu sudah gak asing. Mahasiswa hukum Trisakti yang sedang kesulitan menghadapi skripsinya-__-yang juga penulis novel yang ngaku-ngaku paling fenomenal dan terlaris ditahun 2011 berjudul Poconggg Juga Pocong atau sering disingkat PJP. Dan gw akui novel PJP emang bikin ngakak! Ratusan lembar penuh dengan tulisan kreatif Arief Muhammad (Poconggg) sekaligus pemilik akun twitter dengan followers lebih dari satu juta. Novel PJP juga udah sukses nganter Arief ketangga selebriti, ya.. Hidup memang seperti sekotak coklat, lo gak bakal tau apa yang bakal lo dapet. Penuh dengan kejutan. Sukses menaiki tangga selebriti Arief gak berenti disitu.. Maxima Pictures menawarkannya membuat PJP The Movies dengan disturadarai Chiska Doppert, sosok yang sempat dikenal sebagai alter-ego dari sutradara legendaris Indonesia: Nayato Fio Nuala. Dengan dibintangi Ajun Perwira, Saphira Indah, Rizky Mocil, Nycta Gina, Guntur Triyoga, PJP sudah terlihat menjanjikan komedi-remaja, apalagi dinakodai langsung oleh seorang Chiska Doppert yang memang sudah ahli didunia pocong-pocongan, membuat Poconggg Juga Pocong semakin promising!

Agak sedikit berbeda dengan PJP versi novel, yang menuangkan Poconggg dalam berbagai situasi, di PJP The Movie ini memiliki inti cerita dan inti masalah walaupun masih dibumbui adegan-adegan yang ada dinovel. PJP The Movie juga tidak lepas dari nama Arief Muhammad sendiri sang creator ikon poconggg, yang kali ini berkolaborasi dengan Haqi Achmad dalam menggarap naskah *garap naskah elo bisa cong, masa garap skripsi kaga*. Berkisah tentang Dimas (Ajun Perwira) yang sudah memendam lama perasaan kepada teman wanitanya: Sheila (Saphira Indah). Singkat cerita, sampai tamat SMA Dimas gak kesampean nyatain rasa sukanya kepada Sheila sampai akhirnya sebuah kecelakaan maut merenggut nyawa Dimas, dan boom! Tiba-tiba Dimas bangun dengan diikat kafan dan disambut kawan-kawan barunya didunia yang baru juga!

Dimas dianggap pocong yang masih amatir oleh teman-temannya bahkan saking amatirnya kadang dia ngeliat temen pocongnya sendiri aja masih takut. Dimas mulai bergabung dengan geng pocong pimpinan Anjau (Rizky Mocil), dan mengenal Kunti (Nyta Gina) sosok yang sudah membantu Dimas beradaptasi dengan dunia barunya. Kegalauan masih sering menghantui Dimas, ia masih sering memikirkan Sheila yang kini sudah berbeda alam dengannya, dan lebih menyakitkannya lagi kini ketika Dimas tau, Sheila sedang dekat dengan seorang pria yang juga seniornya di universitas, Adit (Guntur Triyoga).


Poconggg Juga Pocong memang tidak bisa memungkiri bahwa jalan cerita yang digagas adalah kumpulan dari beberapa bagian dalam sebuah novel yang kemudian dijadikan satu dan mengangkat sebuah tema dan jalan cerita. Penasaran adalah hal yang pasti selama kita menonton Poconggg Juga Pocong, bagaimana kelucuan Poconggg dinovel digambarkan dalam sebuah film. Ingat dengan Kambing Jantan-nya Raditya Dika? Berawal dari penyatuan atau mungkin lebih tepatnya per-ringkasan sebuah novel kedalam bentuk visual bernama film. Dan.. Arief dan Haqi sudah melakukannya dengan tidak terlalu buruk. Tetap membuat penonton merasa hangat dengan karakter pocongg yang sudah dibesarkan lewat novel dan akun twitter.

Untuk akting saya rasa tidak terlalu banyak masalah, Chiska sudah bisa terbilang sukses mengarahkan Ajun ke sosok poconggg yang lugu dan polos. Dan menghadirkan Nycta Gina sebagai Kunti yang juga berhasil menjadi salah satu pen-supply gelak tawa bagi penonton. Begitu juga dengan Saphira Indah dan Guntur Triyoga, berperan kompleks dalam menghidupkan jalan cerita.

Ya, meski tidak berakhir se-sempurna novelnya Poconggg Juga Pocong setidaknya sudah sedikit menghapus imej jelek dari Pocong, dan gw juga memberikan applause kepada sutradara, karena menurut gw pribadi dari sekian judul film yang sudah disutradarai seperti: Ada Apa Dengan Pocong?, Tumbal Jailangkung, Pocong Minta Kawin dan Bukan Pocong Biasa yang fantastisnya lagi semua dirilis tahun 2011, dan Poconggg Juga Pocong adalah film terbaiknya, ya mungkin karena memag disini jauh lebih memiliki naskah yang tersusun rapih dan karakter poconggg yang sudah akrab dikalangan remaja membuat penggambaran karakternya mudah dicerna dan dimengerti.

Studio : Maxima Pictures/Radio MS Tri FM | Genre : Drama, Comedy | Director : Chiska Doppert | Producer : Ody Mulya Hidayat | Starring : Ajun Perwira, Saphira Indah, Rizky Mocil, Nycta Gina, Guntur Triyoga



Read More >>

Saturday, November 26, 2011

Film Review: Puss in Boots (2011)


Kecerdasan Animation-Comedy eropa memang sulit luput dari sorotan sinema internasional. Seperti Rango dan Shrek, Puss in Boots juga menyuguhkan kita animasi-komedi cerdas khas eropa. Pilihan yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Diisi oleh suara Antonio Banderas tentu akan menambah ekspektasi seseorang tentang film yang diangkat dari sebuah karakter yang sebelumnya melejit di franchise shrek. Didukung dalam format 3D akan semakin membuat petualangan kucing oranye terlihat tidak membosankan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa.

Dengan trademark bak Zorro kecil, Puss (Antonio Banderas) kucing kecil nan imut ditinggalkan didesa kecil didaerah San Ricardo, dimana ia akhirnya diambil dan dibesarkan oleh seorang wanita bernama Imedla (Constance Marie)disana ia berteman dengan Humpty Alexander Dumpty (Zach Galifianakis) seorang pemimpi yang tidak kalah gilanya dengan Puss. Inti cerita Puss in Boots sebenarnya tidaklah rumit bahkan tergolong ringan dan mudah dicerna hanya tentang seekor kucing dan temannya yang bermimpi tentang golden egg. Cukup kreatif membangung cerita karena memang kita selama menonton franchise shrek kita masih bertanya-tanya darimana asal Puss.

Animasi difilm ini memang tidak lebih mengesankan dari film-film karya Dreamworks lainnya, tapi Puss in Boots tetap menunjukan eksistensinya dalam persaingan film animasi 2011. Efek CGI cantik yang terus dibalut adegan-adegan yang membuat perut terus terkocok membuat Puss in Boots tampil dengan percaya diri dalam mengobral karakter yang sebenarnya sudah sering kita lihat kekonyolannya di franchise shrek. Disutradarai oleh Chris Miller, Puss in Boots memang bukan film yang didesain untuk terlalu serius.. Dengan cerita yang nothing special namun dikemas dengan menyenangkan dan menimbulkan gelak tawa.

   
 

Suara Banderas sendiri belum bisa menggambarkan bagaimana karakter Puss dengan maksimal, dan.. Zach Galifianakis disini tidak se-spesial Zach menggambarkan karakter Alan di The Hangover, masih banyak adegan yang terlihat memaksa tapi berujung fail mungkin ini salah satu efek dari kurangnya penguatan karakter utama. Tapi semua kecacatan di Puss in Boots akan mudah tertutupi apabila anda melihat betapa unyunya kalo Puss ngeluarin senjata andalannya: The Innocent Eye, langsung gak tega mau caci maki.. Bikin mendadak pengen punya kucing hahah

Ya.. Sudah bisa diprediksi sebelumnya Puss in Boots memang bukan film yang dikemas dengan twisting plot dan cerita yang berat, Puss in Boots adalah film dengan tema klasik yang dibiaskan dengan grafik yang memukai besutan Chriss Miller. Oh ya, ada satu karakter lagi yang hampir mencuri perhatian satu theater ia adalah Ohh Cat, kalo gw pribadi nganggep Ohh Cat jauh lebih konyol ketimbang Puss sendiri. Padahal kalo liat dari sisi penguatan karakter, jauh lebih kuat Puss.. Ya memang itu sudah bagian dari screenplay, Puss tetaplah karakter utama meski dengan kurang gregetnya penggambaran karakter.
Read More >>

Film Review: The Art of Getting by (2011)


Hidup memang sudah seharusnya tidak terlalu serius, karena apapun yang berbau berlebihan pastilah tidak baik, sama halnya yang dijelaskan film indie sederhana; The Art of Getting by, sempat screening di Sundance Film Festival dan meraih beberapa review positif. Menyajikan drama klasik yang dibintangi bintang-bintang muda. Simple dan tidak berbelit-belit.

The Art of Getting by, bertanya-tanya tentang sebuah kesia-siaan, disampaikan dengan baik oleh George Zinavoy (Freddie Highmore) seorang mahasiswa yang tingkat kemalasannya sudah sangat akut bahkan ngelebihin gw hahah, Realistis itulah satu kata yang bisa jelasin karakter George. Gw pribadi bener-bener suka sama karakter dia disni.. Sembrono, gak sopan, males.. Mirip gw banget haha. Menolak membuat tugas dari para dosen, bahkan menolak motivasi dari seorang kepala universitas. Sedikit demi sedikit tentu akan membuat Ibu George (Rita Wilson) lelah, tapi dengan sedikit demi sedikit juga George akan menyadari bahwa realita yang sesunguhnya menantinya.. Sekeras apapun batok kepala seseorang dengan sentuhan alami cinta pasti akan luluh lantah gak karuan.. George jatuh cinta pada seorang wanita yang lahir dari keluarga broken home; Sally (Emma Roberts).

Cerita yang sangat tersusun rapih membuat film ini tampil dengan penuh misteri, sulit menebak-nebak apa kelanjutannya. Sinematografi dengan latar belakang keindahan New York membuat film ini hidup, dan scoring-nya membuat film ini yang sudah tampak hidup menjadi lebih hidup! Meski akting Freddie Highmore disini tidak sebaik aktingnya di Finding Neverland, tapi overall Freddie sudah menyajikan sesuatu yang menjadi pettern tersendiri difilm ini, dengan kata demi kata dalam sebuah dialog brilian. Gw juga bener-bener suka gimana tim teknis menggarap film ini, gimana mereka saling mendukung dengan jajaran cast. Bener-bener total! Untuk tata sinematografi dan akting.. gak usah banyak bacot, The Art of Getting by udah bisa ngebuat lo duduk manis selama satu setengah jam.


Mungkin esensi film ini akan lebih berasa kalo elo adalah mahasiswa yang muak akan tugas-tugas yang diberikan dosen, gak memotivasi sih.. Tapi seenggaknya asik aja kalo nonton yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari kita. Oh ya, George disini juga bertemu Dustin (Michael Angarano), seorang pelukis sukses yang juga alumni dari universitas George dan Sally sekarang, Dustin disini juga berperan dalam hidupnya masalah difilm ini. Sublot yang dihadirkan juga masih tidak kalah dengan plot utama yang selama film terus dikembangkan. Akan semakin terasa ketika perlahan satu per satu masalah diungkap dengan jenius.

Gavin Wiesen sebagai sutradara sekaligus penulis skenario juga sudah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Memimpin film yang terlihat tidak membutuhkan budget besar namun menghasilkan karya yang mengesankan.. Mengarahkan seluruh jajaran pada performa tertinggi membuat The Art of Getting by keluar dengan sangat-sangat maksimal! Terutama pada duet Freddie dan Emma, dua bintang muda yang berpotensi menjadi bintang besar Hollywood. Kalau bukan karena mereka berdua The Art of Getting by tidak mungkin semenarik ini, sehidup ini.

Menyajikan skenario yang tidak biasa, walaupun sebenarnya sudah banyak film-film bertipe seperti The Art of Getting by. Betapa berhasilnya Gavin Wiesen menyampaikan lika-liku masalah difilm ini, kisah rumit dan menjijikan yang kalo anak sekarang bilang bikin galau, realita yang memang terjadi membuat kita merasa The Art of Getting by sudah tidak asing..
Read More >>

Tuesday, November 22, 2011

Film Review: Our Idiot Brother (2011)

 

Our Idiot Brother adalah terapi kesejukan yang dibalut masalah sehari-hari disampaikan dengan menyenangkan dan proporsional. Film komedi yang mencoba membangun euforia gelak tawa disetiap scene-nya. Sejak menit-menit awal selama perkenalan karater Our Idiot Brother terus berusaha memanjakan penonton dengan lawakan konyol dari seorang Ned (Paul Rudd). Dieksekusi oleh tim yang terlihat sudah sangat terbiasa menyelesaikan film-film ber-genre komedi Our Idiot Brother tampil dengan alur dan plot yang tidak terlalu banyak kecacatan serta lawakan yang surprising dan tidak terduga.

Dikelilingi masalah-masalah pribadi yang sudah memasyarakat serta kecemerlangan Paul Rudd memerankan Ned, sudah membuat kita tersenyum-senyum sejak awal. Paul memang sudah bisa kita kenal di film-film ber-genre hampir sama dengan Our Idiot Brother. Namun di Our Idiot Brother berbeda.. Rudd berperan sebagai pria yang dicap negatif padahal berniat baik. Gak jarang ya sebenernya kita denger karakter seperti itu.. Orang niat baik tapi justru fail. Karakteritas Rudd memerankan Ned juga sudah berasa sejak awal.. Membuat penonton dapat men-ciri khas-kan Rudd di Our Idiot Brother.

Daritadi saya berbicara masalah yang sudah awam dimasyarakat tapi belum menjelaskan apa masalahnya hehe baiklah, masalahnya adalah ketika Ned dihadapkan dengan 3 orang saudara perempuannya antara lain; Liz (Emily Mortimer) seorang istris yang sexless dan sangat lemah dalam artian "kurang" berani dengan suaminya yang sering selingkuh. Natalie (Zooey Deschanel) jujur aja sebenernya salah satu alasan gw nonton Our Idiot Brother tuh karena ada Zooey Deschanel dan cukup kecewa gw setelah tau peran doi disini sebagai seorang lesbian. Kemudian yang terakhir Miranda (Elizabeth Banks) seorang wanita yang sangat mengharapkan pria pujaannya dengan cara apapun. Complicated nya masalah ketiga wanita diatas tentunya akan lebih diwarnai oleh kegokilan Ned.


Sebenarnya saya tidak terlalu mempersoalkan penyampaian cerita dan seberapa indahnya plot dan alur cerita, saya menganggap setiap film komedi memang tidak usah terlalu mementingakan plot. Asal jangan terlalu berantakan, paling tidak minimalkan adanya plot hole. Begitu juga dengan Our Idiot Brother, tidak usah terlalu berharap kejeniusan cerita karena memang tidak ada yang spesial disini.. Bahkan menurut saya disini sesuatu yang spesial hanyalah kehebatan dan karakteristik Paul Rudd sebagai Ned. Sisanya? There's nothing special. Tapi kalau kita berbicara drama-komedi, Our Idiot Brother sangatlah recommended. Sadar atau tidak penonton dibawa masuk kedalam satu per satu perangkap Ned. Perangkan yang mengharuskan kita menertawakan adegan-adegan yang diperagakan.

Cara menikmati Our Idiot Brother sepenuhnya adalah dengan merasakan setiap adegannya dengan santai, tidak usah terpaku pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Selain karakteristik Ned yang terlihat menonjol, kita sepatutnnya juga memberi applause pada para pemeran pembantu lainnya, sangat-sangat menjiwai peran yang mereka mainkan.. Dan jangan lupakan anjing kesayangan Ned: Willie Nelson, melebihi rasa cinta Ned pada apapun.

Menyuguhkan drama-komedi dengan kegokilan tingkat akut yang didukung dengan cast-cast yang tidak kalah kegokilannya, sangat-sangat mampu menolong Paul Rudd membawa atmosfer komedi. Ketidak tanggungan Jesse Peretz sebagai sutradara dalam menyampaikan komedi membuat film ini terasa pas takarannya, serta persoalan yang cukup complicated namun dikemas dan dibawakan dengan asyik dan menyenangkan.


Read More >>

Sunday, November 20, 2011

INAFFF'11: The Incident (2011)

  
Sebelumnya saya tegaskan bagi yang punya serangan jantung jangan nonton film ini.. Karena di Toronto International Film Festival kemarin sampai ada yang pingsan nonton film ini, karena penasaran seberapa menegangkan dan seberapa mengagetkan-nya The Incident maka saya coba sempat kan untuk datang di INAFFF 2011 ini.

Sempat melihat trailer dan membaca sinopsis saya mengatakan cukup wajar apabila ada yang pingsan.. Mungkin karena difilm ini berhubungan dengan psycho.. Mengambil cerita tentang kecelakaan yang terjadi disebuah rumah sakit jiwa, suatu hari petir menyambar dan memutuskan aliran listrik rumah sakit jiwa tersebut dan bum! Seluruh sistem pengaman-pun lumpuh dan para pasien pun berhamburan! Suasana semakin tidak terkendali ketika George, Max dan Ricky yang bekerja di dapur rumah sakit beserta para penjaga menjadi sandera pasien.

Film karya Alexandre Courtes yang sebelumnya terkenal sebagai sutradara music video band seperti U2 & Coldplay ini sudah berhasil membuat penonton meng-gebrak bangku mereka dengan suguhan yang benar-benar thrilling! Sulit sebenernya ngegambarin seberapa menegangkannya The Incident, ini film penuh dengan adegan di udak-udak, digigit, dicekek, wah pokoknya disiksa..


Balik ke cerita, berhasil menjadikan sebuah rumah sakit jiwa.. Atau lebih tepat dibilang penjara untuk orang-orang yang tidak memiliki akal berfikir. Alexandre Courtes yang juga memulai debutnya dalam menyutradarai sebuah film berhasil dan sukses membuat gw merasakan pahitnya terjebak dalam rumah sakit jiwa! Betapa thrilling nya ketika elo mesti berhadapan dengan orang yang udah gak punya rasa ampun, anggap saja kita sedang bermain petak umpet dan rumah sakit jiwa yang sudah disulap menjadi gelap itu arena bermain kita, sedangkan lawan bermain kita adalah para orang-orang sinting itu tadi. What do you feel? So thrilling right?

Courtes juga udah sukses nampilin adegan-adegan yang begitu nyata, sampe-sampe mungkin elo ngerasain diudak orang gila beneran *lebay* 1 jam lebih kita mesti ngeliat rasanya disekep bareng orang gila dirumah mereka sendiri. Diselipin adegan-adegan gore nan sadis The Incident semakin meyakinkan gw untuk gak mau ngeliat apalagi masuk yang namanya rumah sakit jiwa.

Kejutan-kejutan yang bener-bener membuat adrenalin lo terpacu! Bener-bener epic ketika tiba-tiba orgil muncul didepan lo whahaha dan itulah yang terjadi di The Incident. Entah apa yang beda dengan adegan violence difilm ini dengan difilm-film thriller-gore lainnya. Benar-benar berasa real! Esensi cerita yang simple dan kualitas akting yang jempolan juga jadi faktor kenapa film ini benar-benar ngebuat lo berasa di udak orang gila beneran. Permainan tensi cerita yang benar-benar awesome.. Hampir sepanjang film suasana horror dirumah sakit jiwa itu berasa! Gak basa basi dah nih pelem.. Beda dari horror-horror lainnya, dikemas dengan gak biasa serta memuncakan adrenalin pada tingkat tertinggi.

Kolaborasi yang patut diacungi jempol dari S. Craig Zahler dan Courtes, menulis skenario adegan demi adegan dengan brilian kemudian dikemas dalam bentuk motion picture dengan begitu sempurna. Tingkat kesadisan yang membuat kita gak nyangka bahwa ternyata begini kalo orang gila udah ngamuk. Nafas benar-benar disita selama difilm ini, hampir selama film kita dipaksa ngikutin alur mengerikan yang dibuat oleh Courtes. Gak heran sih kalo di Toronto ada yang pingsan

Read More >>

INAFFF'11: Hobo with a Shotgun (2011)

 

Pahlawan pembela keadilan bukan hanya bisa kita saksikan di komik-komik marvel ataupun DC, percayalah sekecil apapun kebaikan kita jika itu berarti maka kita bisa disederajatkan dengan kebaikan spiderman ataupun batman. Disini di Hobo with a Shotgun tidak perlu terlalu serius didalamnya film ini pure entertaining dengan kemasan yang sangat menggugah selera karena menghabiskan literan darah dari awal hingga akhir film.

Mengambil setting dikota yang kriminal sudah menjadi kegiatan sehari-hari, dilengkapi dengan pelacur, pembunuh, perampok dll pokoknya lengkap-_-Tau inti dari kisah-kisah kepahlawanan? Yup, tujuan mereka melindungi entah itu wanita atau kota dan membunuh sang villain. Ini juga terjadi di Hobo with a Shotgun, seorang gelandangan bernama yang tidak dijelaskan begitu dijelaskan siapa karakter ini sebenarnya namun sepanjang film sangat akrab dipanggil Hobo (Rutger Hauer) pemenang Golden Globe 1998 dalam kategori Best Performance by an Actor in a Supporting Role in a Series, Mini-Series or Motion Picture Made for TV. Sekarang siapa villain-nya? Seorang bajingan bernama Drake beserta dua anaknya; Slick dan Ivan, yang terkadang saya malah mendukung kejahat mereka bertiga.. Kenapa? Karena cara mereka membunuh sangatlah berbeda.. Gokil dan kreatif! Jarang saya temui difilm gore lain.


Sejak awal penonton sudah dipaksa untuk menikmati ceceran-ceceran darah, tidak usah memikirkan cerita yang tidak terlalu complicated, karena sekali lagi film ini memang dikemas pure entertaining. Tak lengkap bukan kalau seorang pahlawan tidak mempunyai pendamping atau paling tidak seorang support-er.. Hobo juga demikian! Gak asik rasanya kalo Hobo sendirian ngadepin kelakuan keparat dari seorang Drake yang udah sukses membuat hampir satu kota tunduk padanya. Hobo didampingi oleh sorang pelacur yang sebelumnya pernah dia selamatkan dari jebakan Slick, dia adalah Abby (Molly Dunsworth).

Saya akui meski ceritanya sangat simple dan tergolong biasa-biasa saja but Hobo wih a Shotgun is still fuckin awesome! Mengajak penonton untuk tidak terlalu serius, latar belakang yang sebenarnya tidak bisa dikataka kota karena sangat suram, mungkin mengapa film ini tidak terlalu membutuhkan budget adalah karena menyusun latar belakang tempatnya hanya dengan memilih tempat yang bergaya urban seperti banyak coretan-coretan graffity, cat tembok yang sudah mengelupas dll,  kemudian menaburkan sampah-sampah disekitarnya, foila! Jadilah lokasi shooting Hobo with a Shotgun

Meski tidak terlalu dikembangkan karakternya namun Rutger Hauer sangat-sangat sukses memainkan karakter Hobo.. Memainkan sumpah serapah dan kata-kata kotor yang sudah menjadi hiasan wajib dalam dialognya. Dengan diisi 65% adegan kekerasan dan sisanya dialog apa adanya. LOL. Hobo with a Shotgun memang terlihat memiliki budget yang tidak memungkinkan untuk membuat film gore seperti Saw, tapi Hobo membuktikan dengan kegokilannya dia bisa membuat penonton mencintai apa yang dia sudah suguhkan tanpa harus merepotkan kejeniusan plot dan kecemerlangan dialog. Dengan keberanian juga Hobo bisa menobatkan dirinya menjadi film penuh darah yang layak tonton tahun ini! Bravo!
Read More >>

Saturday, November 19, 2011

Film Review: SuckSeed (2011)

 
Sekarang film-film drama remaja ala Thai memang lagi digandrungi di Indo. Bukan hanya melahirkan aktor atau aktris bertalenta baru, film-film remaja thai juga jauh dari kesan remaja labil. Dengan ide cerita yang kreatif serta penyampaiannya tidak didominasi adegan peluk sana peluk sini cium sana cium sini sudah jelas film-film drama Thai menyuguhkan sesuatu yang tidak biasa.

Ciri lain film drama remaja Thailand adalah seimbangnya antara intensitas cerita dan penguatan karakter. Ini membuat drama Thailand tampil dengan performa yang balance. Jangan heran ketika habis menonton film Thailand kita membuka google dan men-search biodata aktor atau aktris yang baru kita tonton aktingnya karena memang selain bakat akting yang luar biasa aktor dan aktris Thailand sungguh berbeda dengan Hollywood, sedikit chinese namun oriental hehe.

SuckSeed pun, demikian bercerita tentang Ped (Jirayu La-ongmanee) yang intinya.. tidak bisa mengungkapkan rasa cintanya.. Terpendam sejak kelas 6 SD. Kemudian Ped tergerak untuk membuat band bernama SuckSeed band yang singkatnya from zero to hero yang semula hanya beranggotakan 3 orang pecundang; Ped, Koong, Ex. tidak dijelaskan kenapa Ped dkk ingin membuat band karena memang difilm ini unsur musik sangat terasa. Mungkin karena faktor kenalnya Ped dengan Ern (Nattasha Nauljam).Ern yang pada akhirnya bergabung SuckSeed tidak semata-mata memuluskan langkah SuckSeed ke panggung yang lebih megah, namun justrus menimbulkan konflik berupa persaingan cinta antara Ped dan Koong dalam mendapatkan Ern.

 Selain konflik cinta segitiga antara Ped, Koong dan Ern, SuckSeed juga terus diisi dengan perjalanan sebuah band underdog menuju puncak tertinggi dan menjadi pujaan para wanita. Dengan gaya yang tidak biasa bahkan bisa dibilang menimbulkan gelak tawa SuckSeed sedikit demi sedikit merangkak keatas.

SuckSeed adalah tontonan ringan yang sangat pas menamani waktu kosong kita, film ini sama sekali tidak berbelit-belit dan juga tidak terlalu singkat. Apalagi dengan dihibur musik-musik Thailand akan menambah esensi film ini sendiri. Dan film ini sendiri sudah sukses membuat penontonnya merasakan kehidupan abg-abg di Thailand sana haha.

Walaupun ada beberapa bagian yang masih terlihat kosong SuckSeed tetap melenggang sempurna dengan kemampuan bercerita yang terjaga. Para cast difilm ini tentulah mendapat credit lebih karena mungkin jika saja bukan mereka yang memainkan peran difilm ini, SuckSeed tidak bisa sehidup ini. Lika liku permasalahan yang membelit terasa sangat realistis. Dari mulai cinta hingga persahabat.. Klasik namun akuilah SuckSeed dapat menyampaikannya dengan modern. Penyelesaian yang tidak basa basi juga menjadi ke asikan tersendiri dalam film ini. Pelan tapi pasti.. Menuntun penoton kepuncak cerita.

Mungkin bagi orang-orang yang tidak terlalu tau film Thailand seperti saya, tidak mengetahui sutradara Thailand, aktor atau aktris Thailand tentunya menonton film-film Thailand (salah satunya SuckSeed ini) akan menjadi misteri selama detik demi detik film ini berlangsung.. Dan SuckSeed berhasil memecahkan sedikit demi sedikit misteri-misteri itu dengan menyenangkan.

Read More >>

Thursday, November 17, 2011

Film Review: The Adventure of Tintin (2011)


Film yang diadaptasi dari serial komik karya Hergé berjudul sama ini kini sudah bisa kita saksikan petualangannya dilayar lebar, dengan diarahkan langsung oleh seorang living legend Steven Spielberg serta dibantu oleh seorang Peter Jackson. Siapa yang tidak mengenal dua sutrada itu? Dua orang yang pandai memainkan visual effect dalam filmnya. Steven Spielberg yang dikenal sebelumnya lewat aksi dinosaurus di Jurassic Park sekaligus memulai era CGI di zamannya. Peter Jackson? Cukup dengan menyebut Lord of the Ring Trilogy maka orang akan mengetahuinya. Dan sekrang bagaimana kalau mereka berdua bekerja sama dalam satu film? Ekspektasi setiap orang pastilah berbeda.

Dibuat dengan format yang bisa kita saksikan dalam 3D Tintin sungguhlah luar biasa. Dibuat oleh dua sutradara yang besar di Hollywood dan sudah mencicipi megahnya panggung Oscar tentu melihat dua nama itu pasti kita akan mengatakan bahwa Tintin is looks so promising. Dan anda tidak akan kecewa! Buat kalian yang sudah mengikuti Tintin dari serial tv dan komik-nya pasti tau betapa seru petualangan pemuda ber-jambul ini.

 

Mengungkap misteri tentang Unicorn yang berbuntut panjang serta memaksa kita mengenal sosok kapten yang senantiasa bernama Haddock. Kisah klasik yaitu dendam leluhur-pun tak luput dalam cerita. Naskah cerita The Adventures of Tintin sendiri menggabungkan tiga seri komik yaitu: The Adventures of Tintin, The Crab with the Golden Claws (1941), The Secret of the Unicorn (1943) dan Red Rackham’s Treasure (1944). Tiga seri digabungkan menjadi satu film ini tentu akan menguji keahlian sutrada dalam mengarahkan jalan cerita.

Memang tidak ada yang terlalu spesial di Tintin selain visual effect-nya. Penokohan yang terlihat biasa-biasa saja bahkan bisa terbilang datar dan terlalu cepat. Seharusnya mengingat dua nama besar yang menukangi film ini kita berharap lebih. Padahal jika melihat penyampaian konflik sudah tepat sasaran, sedikit demi sedikit penonton dijelaskan apa sebenarnya inti cerita di film ini.

Komedi khas eropa juga salah satu nilai plus difilm ini, pandai sekali menyisipkan komedi semacam ini. Dan ini memang sudah khas di komik maupun di serial tv-nya. Cerita yang dibuat tidak terlalu rumit serta menyisipkan komedi didalamnya. Sudah bisa ditebak bahwa Tintin memang men-targetkan dirinya film yang mudah dicerna. Tidak terlalu mempersoalkan betapa berlikunya labirin misteri yang biasanya kita jumpai di komik dan serial tv-nya. Cocok sekali buat anda yang ingin mengisi hari dengan tontonan ringan tapi tidak membosankan.

Sejak Avatar karya James Cameroon keluar sampai saat ini baru Tintin-lah yang berhasil menyamai bahkan hampir melebihi proyek berpenghasilan milyaran rupiah itu. Ini memang sudah zaman-nya film menggunakan teknologi animasi yang mendekati kenyataan. Tapi bukan sekedar hanya dengan melibatkan banyak teknologi komputer didalamnya lantas melupakan alur dan cerita. Dan Tintin sukses tidak melupakan dua hal itu: Alur dan cerita.. Selalu diguncang dengan hebohnya petualangan. Sama sekali tidak merasa datar dalam film ini.

Mungkin kalau bukan karena menggunakan dua nama besar dari Steven Spielberg dan Peter Jackson, Tintin tidak bisa sesukses ini, sebrilian ini! Pergantian scene demi scene sama sekali tidak ada yang terlihat memaksa semuanya berjalan dengan mulus. Semulus animasi yang mendekati kenyataan dan semakin nyata dengan dapat disaksikannya dalam format 3D. Okay, So far Tintin is the best animation in 2011

7,8/10
Read More >>

Wednesday, November 16, 2011

INAFFF'11: FISFiC 6 Vol. 1 Omnibus

Yak! Salah satu yang ditunggu-tunggu di INAFFF 2011 tahun ini. FISFiC (Fantastic Indonesian Short Film Competition) adalah suatu kompetisi film pendek khusus genre Fantasy (Horror,Thriller, Sci-Fi, Fantasy). Kompetisi ini berbeda dengan kompetisi lainnya, karena pemenang mendapat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan film lewat workshop, dan juga mendapatkan kesempatan untuk terjun langsung ke industri film Indonesia. Menghadirkan 3 juri yang sudah tidak asing dalam dunia perfilman nasional; Ekky Imanjaya, Gareth Evans, Joko Anwar, Rusli Eddy, Sheila Timothy, dan The Mo Brothers.

6 Film terpilih.. Sudah menyisihkan pesaing lainnya lewat fase 25 besar dan film-film itu adalah:

1. "Reckoning" by Zavero G. Idris, Katharina Vassar, dan Putra Sigar.
2. "Taksi" by Arianjie AZ, Nadia Yuliani, dan Titis Sapto Raharjo.
3. "Rumah Babi" by Alim Sudio, Agus Kurniawan, dan Harry Setiawan.
4. "Meal Time" by Ian Salim dan Evira Kusno.
5. "Rengasdengklok" by Dion Widhi P., Yonathan Lim, dan Abdul R. H. Sudibya.
6. "Effect" by Andriano Rudiman dan Leila Safira.


Ekspektasi yang sudah saya pendam sedalam mungkin nampaknya menjadi modal awal untuk saya menikmati kumpulan film-film pendek ini. Dan itu semua sukses tanpa terlalu mengamati sinopsis dari masing-masing finalis saya dibuat terkejut oleh keenam film ini. Kita mulai dari Rumah Babi film yang menurut saya paling sempurna di screening semalam.


Rumah Babi: Menegangkan! Itulah satu kata yang bisa menjelaskan Rumah Babi, dengan aura tegang yang dibangun perlahan tapi pasti film ini sukses membuat penontonnya berteriak! Mengambil cerita tentang pendokumentasian tentang kerusuhan etnis china yang juga peternak babi. Unik dan tak terduga.
8,5/10


Taksi: Film pendek yang satu ini juga sukses mencuri perhatian saya. Mengambil setting hanya ditaksi saja pastilah akan menguji kreatifitas sutradara.. Film yang hanya mengambil satu setting jika datar sedikit saja maka akan dipastikan penonton bosan. Dibintangi oleh Shareefa Danish sebetulnya sudah jadi modal berharga difilm ini. Taksi tergolong film yang berhasil karena sukses membuat skenario yang sangat-sangat tidak terduga! Brutal!

Rengasdengklok: Tak terpikir bahwa ternyata selama ini guru sejarah saya salah! Ternyata musuh Indonesia sebelum kemerdekaan itu adalah zombie! wahaha Rengasdengklok.. Dari 6 finalis Rengasdengklok-lah yang paling melibatkan special effect dan siapa sangka ternyata film zombie ini juga diselimuti komedi jenius, mengapa saya katakan jenius karena komedinya diselipkan disaat yang tepat! Brilliant!

8,3/10

 Meal Time: Masih kurang bisa membuat suasana tegang padahal kalau melihat kesempatan yang ada cukup banyak. Berawal dari datangnya para napi dan penjaga rumah tahanan baru. Yang tak disangka ternyata berbuntut panjang. Mungkin kalau adegan kejar-kejaran di eksekusi dengan lebih menegangkan akan membuat film ini lebih menarik. Akting yang kaku nampaknya juga menjadi imbah mengapa film ini tidak menjadi favorit saya di FISFiC kali ini.

8,0/10

The Reckoning: Tragis. Udah cukup ngegambarin gimana The Reckoning. Didominasi bahasa Inggris namun tanpa subtitle membuat film ini kadang jadi sulit dimengerti. Kalau berbicara sedikit kedalam mengenai  pembentukan konflik, klimaks, serta penyelesaian. Film ini bisa dibilang sedikit absurd banyak scene yang penonton bisa kurang menikmati. Tapi untuk kelas film pendek Indonesia The Reckoning sudah bisa dikategorikan layak menjadi finalis FISFiC

7,8/10

Effect: Jujur waktu ngeliat poster-poster finalis FISFiC gw paling antusias sama Effect! Gak tau kenapa. Dan setelah ditonton gak mengecewakan kok.. Ide ceritanya unik.. Gak nyangka ini produksi anak bangsa! Berhasil banget membuat penonton berkomunikasi dengan kejanggalan-kejanggalan di film ini.

7,8/10

Yup, itu dia pendapat saya tentang 6 finalis FISFiC 6 Vol. 1.. Ditangan mereka-mereka ini lah nama baik per-filman Indonesia. Filmmaker muda berbakat! Seharusnya kompetisi semacam ini lebih diperbanyak kalau bisa tidak terkurung dalam suatu genre tertentu. Selamat untuk para 6 finalis yang sudah berhak tayang di INAFFF tahun ini dan terima kasih telah menghibur kami dengan sejuta ketegangan.

Read More >>

Film News: Modus Anomali Teaser Trailer


 Sebelumnya dikenal lewat Pintu Terlarang dan Kala, Joko Anwar kembali membuat strike dengan film terbarunya: Modus Anomali, film ber-genre thriller ini sudah memasuki proses syuting. Dibintangi oleh Rio Dewanto yang notabene pernah menjali kerja sama dengan Joko di Pintu Terlarang.

Mengambil set ditengah hutan, sudah bisa jaminan film ini akan penuh dengan adegan kejar-kejaran melintasi rentetan pohon yang menghalangi. Kejutan lain dalam bidang produksi Joko menggunakan kamera Red Epic, kamera yang digunakan Peter Jackson dalam membuat The Hobbit namun bedanya Peter Jackson menggunakan 24 camera on set sedangkan Joko Anwar hanya menggunakan 1.

Buat kalian yang sudah menonton Pintu Terlarang pastilah tau bagaimana Joko bisa membangun sebuah film thriller fase demi fase dilewati dengan eksekusi yang maksimal, mungkin ini akan kembali di terapkan di Modus Anomali, namun sentuhan yang lebih menegangkan tentunya itu harapan saya.

Sekilas melihat teaser yang sempat diputar di INAFFF kemarin ini Joko menggunakan bahasa inggris dalam filmnya yang artinya juga Modus Anomali memiliki target penjualan internasional. Suatu kebangkitan dalam perfilman Indonesia!


 
 
Read More >>

Tuesday, November 15, 2011

INAFFF'11: The Monk/Le Moine (2011)


 Film ini sebelumnya sudah pernah dibuat ditahun 1972 dengan judul yang sama. Saya belum bisa membandingkan versi yang 2011 dengan 1972 karena sampai saat ini belum menonton versi yang 1972. Okay.. Jadi bahas yang versi 2011 aja ya.. Sejak awal perhatiin nih film lewat trailernya gw udah mulai penasaran, disaat temen gw yang lain enggan untuk nonton nih film walaupun finally mereka nonton-nonton juga, dan ternyata gw gak sendirian yang penasaran sama nih film, satu audi hampir penuh haha ya sekitar 60% lah.

Bercerita tentang seorang biksu, Capucina Ambrosio (Vincent Cassel) terbuai oleh rayuan seorang penipu wanita, Matilda, yang menggodanya hingga gairah manusiawinya sebagai seorang lelaki normal muncul. Antonia, adalah wanita yang menjadi korban dari kejadian ini, ia diperkosa dan kemudian dibunuh oleh sang biksu. Ternyata Matilda adalah perwujudan setan yang memiliki misi untuk menjebak Ambrosio. Ambrosio akhirnya menjual jiwanya kepada sang setan demi membebaskan diri dari perkara ini (Joséphine Japy), dan perjalanan sebagai budak setan pun dimulai.

Untuk derajat psychological-thriller, The Monk gak bisa dilewatin gitu aja.. Karena yang gw tau ini satu-satunya film di INAFFF tahun ini yang memainkan genre psychology. Dan benar gw gak kecewa karena udah beli tiket nih film.. Dari awal suasana dan kesan religi-nya udah kental banget.

Tepat sekali Dominik Moll memilih Vincent Cassel untuk memerankan karekter Ambrosio, selama 110 menit suami dari Monica Belucci ini seakan sudah melekat dengan karakter yang diperankannya. Dukungan dari pengisi cast lain juga tidak kalah besar dari mulai yang hanya berperan sebagai cameo sampai yang cukup sering mengisi layar patut benar-benar berpengaruh difilm ini.


Tragis dan penuh kontroversi.. Satanisme, batin yang terombang-ambing, sisi gelap, penyesalan menjadi makanan selama film berlangsung. Moll sudah cukup membuat saya merasakan hal-hal yang sudah saya jelaskan tadi, dengan sedikit ekspektasi yang hanya bermodal melihat trailer-nya saja saya sudah cukup dibuat merinding oleh the real psychological thriller from Dominik Moll

Sinematografi yang pas juga sukses membuat saya kepikiran.. Jujur gw jarang nonton film luar berbau kepercayaan di bioskop. Di garap sutrada yang sudah terkenal kontroversial mungkin menjadi sisi menarik tersendiri difilm ini.. Cerita puitis yang disampaikan seacara halus namun berakibat tergampar bolak-baliknya batin kita. Unbelivable!

Seusai nonton saya sempat berfikir bagaimana kalau Indonesia membuat film seperti ini.. Sampai proses syutingnya saja saya sudah mengucap syukur! You know lah anarkisnya orang-orang kita.. Yang sepertinya tidak mengijinkan hal-hal sakral seperti agama dan kepecayaan dibuatkan suatu karya. Tetap maju terus per-filman Indonesia! Sedikit demi sedikit pasti bisa!

7,5/10
Read More >>

Monday, November 14, 2011

INAFFF'11: Super (2010)


  Sekilas pasti kita akan membandingkan film ini dengan Kick Ass, bagaimana tidak ber-genre sama dan hampir dengan cerita yang sama pula yang membedakan hanya eksekusi dan konflik. Jika Kick Ass disokong dengan Matthew Vaughn sebagai sutradara serta dukungan cast yang sudah bisa dibilang kelas worldwide. Super juga tidak kalah kejelian James Gunn yang pandai melihat naik turunnya tensi cerita, serta nama Rainn Wilson dan Ellen Page yang sama-sama pernah bermain dalam Juno.

Kick Ass dan Super memiliki dua kesamaan yang khas yaitu karakter pria yang lemah, dan aksi yang gila. Namun kali ini saya lebih memilih Super jika melihat kreativitas adegan yang ada. Super jauh lebih terlihat berani dibanding Kick Ass, baik dalam kekerasan maupun humor.

Bercerita tentang seorang pria yang aneh, sial, dan hanya mempunyai sedikit sesuatu yang spesial dihidupnya, Frank Darbo aka The Crimson Bolt (Rainn Wilson). Sakit memang tapi menonton Kick Ass lebih dulu pasti kita sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin yang ada dibenak James Gunn saat proses pembuatan film adalah membuat ramuan yang berbeda.. Jauh lebih berbeda dan jauh lebih gila dibanding Kick Ass. Jujur, Gunn seudah berhasil melakukannya.. Namun saya anggap adegan brutalnya masih kurang mengingat tidak adanya cast yang berada di bawah umur. Dengan lebih banyaknya scene brutal mungkin akan lebih membuat ramuan Gunn yang gila akan lebih gila!

 

Bak Batman and Robin, The Crimson Bolt juga memiliki partner in crime, Libby aka The Boltie (Ellen Page). Remaja yang menggilai komik.. Jiwa brutalnya sesungguhnya melebihi The Crimson Bolt. Super juga diselingin drama klasik yang membuat film ini tetap menarik selama adegan demi adegan bergulir. Namun sayang drama yang sekaligus menjadi titik kunci keberhasilan klimaks kurang ditonjolkan, penonton dibiarkan melihat aksi penyelamatan seorang pahlawan tanpa proses bagaimana dan apa saja yang dilakukan pahlawan itu sebelumnya. Memang itu sudah dilakukan namun porsinya belum cukup.. Mungkin ini juga yang mengakibatkan pendeknya durasi.

Hiburan difilm ini adalah kata-kata kotor yang sudah menjadi makanan selama film berlangsung, kekonyolan, unbeliveble action dari seorang pahlawan jadi-jadian.. Gunn juga jenius memasukan dialog dan adegan yang sukses membuat perut penonton terkocok.. Gunn sangat-sangat pandai memanfaatkan tubuh gumpal Rainn Wilson serta wajahnya yang unik dilengkapi dengan make-up yang membuat seakan akan wajah Wilson nampak babak belur makin membuat perut penonton terkocok.

Ya.. Super memang bukan duplikat Kick Ass.. Dengan formula yang berbeda Super sudah cukup membuat saya terpukau di INAFFF 2011 ini.

7,6/10
Read More >>

Saturday, November 12, 2011

INAFFF'11: Immortals (2011)


 Yeahhh.. Para pecinta dan penggemar film sudah selayaknya berteriak di tanggal 11 bulan 11 tahun 2011 kemarin.. Bukan karena opening Sea Games lho ya, memang gak jauh beda masih opening-opening juga hehe. Yes.. opening INAFFF 2011, gak terasa  memang festival ini sudah berjalan 5 tahun, festival yang semula bernama ScreamFest Indo ini memang mengkhususkan film-film yang tayang adalah genre terntentu seperti: Horror, Thriller, Sci-Fi, Fantasy, dan Anime. Tapi tahun ini sangat disayangkan karena absennya film-film Anime.

Immortals.. Ya film bergenre fantasy ini dipercaya membuka pagelaran festival bergenre fantastic ini. Namun sayang.. Pembukaan dari Immortals masih belum 3D padahal disisi lain Immortals baru saja di rilis resmi di Indonesia dengan fitur 3D selain itu juga banyak yang meng-kritik bahwa terlalu banyak sensor didalamnya. Padahal sudah ciri khas INAFFF memutar film tanpa potongan.

Tapi perlu di amini karena di dari tahun ketahun penonton INAFFF terus bertambah. Ini tidak lepas dari beberapa media yang senantiasa membantu INAFFF dan tidak lupa para loyalis setia INAFFF!! Menurut gw.. Tahun tanpa INAFFF itu gak asik, tahun lalu tahun pas lagi gw sibuk-sibuknya masih gw sempetin kok buat dateng ke INAFFF (walaupun gak banyak film yang ditonton) hehe.
 

Kok jadi bahas INAFFF-nya nih.. Lanjut ke filmnya ya.. Immortals film yang bernuansa kolosal yunani.. Ingat film ini pasti ingat 300, bagi para moviegoer yang suka 300 sudah ada jaminan klimaks di Immortals ini. Kalau bukan karena visual effect yang memanjakan mata mungkin saya sudah tertidur didalam auditorium.

Warna yang mencolok mata sudah tentu menjadi pemandang sepanjang film. Bahkan dimata saya kostum-kostum di Immortals terlihat sangat mencolok, lebih mencolok dibanding latar atau set yang ada. Sudah bagian dari pasti melihat film-film bertema seperti ini dihiasi adegan pertempuran yang dibalut slow motion agak geram memang melihatnya, mungkin kalau 3D akan sedikit terobati.

Berbicara tentang akting, Akting Thesseus (Henry Cavill) boleh dibilang bagus, tapi tetap tidak spesial begitu juga dengan pengisi cast lainnya nothing special.
  


Tidak jauh dengan 300, Immortals juga masih menganut aliran perang antar kaum/golongan/kelompok karena memang ini tradisi Yunani kuno (berarti budaya tawuran di Indo juga ngikutin Yunani Kuno ya? wakak) Namun Immortals juga diisi perang one on one tidak kalah epic dari antar kaum. Memang tidak se-epic perang di 300.. Tapi untuk urusan visual Immortals jauh lebih jawara!

Film yang menceritakan tentang keabadian bangsa Yunani menurut filosof sebelum masehi ini sudah bisa dikategorikan menghibur dan cukup layak menjadi film pembuka INAFFF tahun ini.. Adegan kekerasan yang brutal dan seks yang di ekspose seacara bebas menjadi salah satu alasan mengapa film ini ditunjuk sebagai pembuka INAFFF tahun ini.

7,4/10
Read More >>

Friday, November 11, 2011

Film Review: Midnight in Paris (2011)

 
Paris.. Kota yang dikenal sebagai kota paling romantis didunia, kota mode, kota berkumpulnya para seniman.. Lantunan lagu yang khas, peminum tengah malam yang seakan selalu mewarnai gelapnya malam di Paris. Arsitektur klasik yang di balut dengan modernisasi juga dengan setia berhamburan di sekeliling paris.

Inilah yang terjadi di Midnight in Paris lantunan lagu-lagu ala french, Arsitektur serta orang-orang yang khas mewarnai hampir di setiap adegan di film ini. Bercerita tentang seorang penulis yang sedang berlibur bersama calon istri beserta mertuanya. Memiliki sifat keras kepala dan bertele-tele itulah yang bisa menjelaskan siapa Gil (Owen Wilson), karakter dengan ciri khas bicara cepat yang terkadang membuat orang tercengan sampai-sampai tidak mengerti.

Kecerdasan Woody Allen memilah scene patut diacungi jempol, hampir disetiap adegan saya bisa merasakan intensitasnya. Suasana paris yang sulit dijelaskan oleh kata-kata, Storyline yang benar-benar awesome.. Lengkap sudah keindahan Paris dimalam hari.

 


Owen Wilson disini ditemani Rachel McAdams sebagai Inez, Marion Cotillard sebagai Adriana. Dengan make up serta properti era Louis XVI Midnight in Paris semakin menarik untuk di tonton. Cerita di Midnight in Paris sesungguhnya adalah cerita yang simple tidak menghabiskan 2 lembar kertas untuk menuliskannya. Namun penyampaian cerita itu sendiri yang terpenting. Woody Allen sukses melakukannya. Dengan penyelesaian yang relatif singkat di akhir membuat kita mengetahui maksud dari film berdurasi satu setengah jam ini.

Entah mengapa film bergenre romantic-comedy yang ber-setting di Paris selalu berakhir fantastis, mungkin karena Paris identik dengan ke-romantisan haha. Tentu bukan hanya romatisnya Paris yang ditonjolkan di film ini.. Dialog-dialog brilian benar-benar membuat kita tidak berkedip. Terlebih lagi Owen Wilson yang memerankan, semakin khas saja film ini!

 Ya.. Overall Midnight in Paris sukses membuat saya terhibur, tidak murni berbicara cinta, tidak murni berbicara komedi juga.. Midnight in Paris adalah sebuah kolaborasi genre yang menonjolkan ke-khas-annya.


Read More >>

Film Review: The Shawshank Redemption (1994)


Bagi sebagian orang yang sering membuka IMDb paling tidak sebagai sumber refrensi atau bacaan pasti sudah tidak asing dengan film bergenre Crime-Drama ini... Ya The Shawshank Redemption menempati IMDb Top 250 di urutan pertama dengan rating 9,2/10 dari 664 ribu user. Mengalahkan The Godfather Series.

The Shawshank Redemption bercerita tentang Andy Dufresne (Tim Robbins) yang masuk penjara akibat tuduhan membunuh istri dan selingkuhan istri-nya. Andy semula di anggap introvert dan sulit beradaptasi dengan lingkungan barunya ternyata justru malah mengagetkan seisi penjara dengan berita pelariannya dari penjara Shawshank.. Cukup banyak twist yang disajikan difilm ini yang mungkin dapat membuat kita berfikir dua kali melihatnya.

Selain dukungan cerita yang benar-benar unik.. The Shawshank Redemption juga didukung dua aktor legendaris Tim Robbins dan Morgan Freeman. Morgan disini menjadi Redd, orang yang sempat mempertaruhkan kenakalan Andy didalam penjara tapi Redd juga sebagai orang paling dekat Andy dipenjara Shawshank. Dukungan dari cast-cast lain juga tidak kalah William Sadler, Clancy Brown dan Gil Bellows juga ikut mengisi peran di The Shawshank Redemption ini. Memang di era 2011 ini mereka sudah tidak sebaik era 1994-nya dulu, tepat ketika film The Shawshank Redemption pertama kali tayang.. Tapi kini mereka patut mengucap syukur karena mereka tergabung dalam cast The Shawshank Redemption film yang cukup banyak mendapat pujian dari pengamat dan kritikus film.


Realita yang terjadi di The Shawshank Redemption sudah hampir mendekati nyata dan karena itulah film ini dinilai menarik. Sinematografi yang apik dan rapih serta eksekusi yang tepat sasaran membuat film ini tidak mudah dilupakan.. Bahkan jujur saya sudah menonton film ini lebih dari 5 kali. Meski belum menjadi film favorit saya tapi setidaknya The Shawshank Redemption cukup mengena bahkan membekas dihati saya.

Cukup disesali memang The Shawshank Redemption tidak meraih satupun piala di Oscar 1995 dari 7 nominasi yang diraih. The Shawshank Redemption masih kalah saing dari Forrest Gump karya Robert Zemeckis.

Film melarikan diri dari penjara memang saat ini bisa dikatakan tidak sedikit. Tapi yang berhasil membuat kita merasakan pahitnya penjara dan nikmatnya keluar penjara hanya The Shawshank Redemption. Meski dengan visual effect yang minimalis karena memang di era 90an masih sedikit film yang sudah melibatkan banyak visual effect didalamnya. Justru dengan itulah kita menikmati film-film di era 90an termasuk The Shawshank Redemption ini, keterbatasan visual effect namun dengan cerita dan unsur intrinsik yang berkualitas.

9,0/10
Read More >>